Selasa, 10 Agustus 2010

Cerpen : Menjaga Amanat


Sejak kematian Bapak kurang lebih sepuluh tahun lalu, praktis rumah itu dibiarkan kosong tak dihuni lagi. Hal itu bukan karena aku dan ketujuh saudara kandungku tidak mau menempati rumah itu lagi, tetapi lebih dikarenakan kami masing-masing telah memiliki rumah sendiri di Jakarta sebagai kota perantauan kami. Rumah itu akan terasa hidup dan ramai ketika kami semua pulang kampung untuk suatu keperluan atau ketika Lebaran tiba, itupun kalau diantara kami kebetulan mudik semuanya, kenangan-kenangan ketika kami masih kecil nampak begitu jelas disana.
Sepuluh tahun lalu ketika Bapak kami meninggal, beberapa hari menjelang wafatnya, ada sebuah pesan dan amanat agar rumah itu jangan sampai dijual.  
“Apapun alasanya jangan sampai rumah ini dijual, ini adalah milik kita, saksi sejarah perjalanan hidup kita.,” itulah ucapan Bapak yang terbata-bata dalam kondisi sakit beberapa hari menjelang kematiannya, ditengah kerumunan anak-anaknya, famili dan para tetangga yang kebetulan berdatangan.
 Sementara ibu kami telah meninggal terlebih dahulu dibandingkan Bapak, yaitu ketika aku masih duduk di kelas dua SLTA. Sebagai anak bungsu aku banyak mendapat perhatian dari Bapak, bahkan ketika aku masih sekolah, Bapak sering mengingatkan kepadaku dengan berbagai petuah yang sarat makna dan suri tauladan, tutur katanya begitu lembut dan membuat haru setiap yang mendengarnya.
Sebagaimana kebanyakan anak-anak dikampung halamanku, setelah lulus SLTA aku ikut kakaku yang telah berhasil di Jakarta, merantau. Aku berhasil melanjutkan kuliahku dengan biaya sendiri dan bisa bekerja sebagai PNS disalah satu instansi pemerintah, itupun hasil jerih payah sendiri, tanpa menyuap dan mengadalkan koneksi dari saudara maupun relasi.

***
Sebuah bangunan yang memiliki ciri khas budaya Jawa Tengah yaitu Rumah Joglo terletak di perkampungan dimana kami dilahirkan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang begitu damai. Bangunan itu masih tetap berdiri kokoh, halamannya luas terlihat bersih dengan hamparan pasir halusnya. Pohon-pohon rindang disebelah kiri dan kanan serta bagian belakang rumah seolah menambah asri, dan sejuk dipandang mata, sementara kicau burung dan semilir angin seolah turut menyapa kepada siapa saja yang kebetulan singgah dirumah itu. Aura kedamaian seolah terasa benar disana, jauh dari hingar bingar dan kebisingan seperti yang aku alami dalam aktivitas keseharianku di kota metropolitan, penat dan menyesakan.
Dibalik ketegaran dan kewibawaaan yang terpancar dari rumah tua itu banyak menyimpan kenangan bagiku dengan tujuh saudaraku. Pada mulanya rumah kami  hanyalah sebuah bangunan yang sangat sederhana. Dengan jerih payah Bapak akhirnya rumah itu bisa diperbaiki sebagai sebuah bangunan berbentuk Joglo yang cukup representatif pada masa itu.
 Masa-masa kecil bagi kami merupakan masa yang penuh keprihatinan, walau begitu kehidupan keluarga kami masih tergolong lumayan dibanding keluarga yang lain. Profesi Bapak sebagai seorang guru Sekolah Dasar kala itu, masih cukup lumayan dibanding beberapa teman kami yang orang tuannya sebagai buruh tani.
Perubahan kampung kami semakin hari semakin terasa akhir-akhir ini, seolah mengikuti arus modernisasi, apalagi setelah banyak diantara anak-anak sebaya kami yang juga merantau dan mencari kerja ke daerah lain, ke kota besar, bahkan tidak sedikit yang ke luar negeri sebagai TKI/TKW. Hasil mereka merantau banyak dikirim kepada orang tuanya untuk membangun rumah, kini di kampung kami hampir tidak lagi terlihat rumah yang kumuh, terbuat dari gedek dan beratap rumbia.
Walaupun masih ada, itupun sekedar mempertahankan nilai-nilai budaya sebagai rumah adat Jawa yang berbentuk Joglo, seperti rumah kami. Rumah mereka rata-rata dibangun permanen dengan beraneka model yang tidak kalah indahnya dengan rumah-rumah real eastet di kota metropolitan, apakah ini pertanda kemakmuran, atau sekedar gengsi warga perantauan, entahlah, yang jelas perubahan telah terjadi dikampung kami.

***
Sebagai seorang guru Sekolah Dasar Bapak begitu dihormati di kampungnya, dalam setiap acara dan pertemuan apapun Bapak selalu mendapat tempat terhormat diantara tamu-tamu lainnya, paling tidak mendapat keistimewaan untuk duduk dibarisan bangku paling depan, sejajar dengan pejabat tingkat desa dan kecamatan. Dan dimanapun Bapak berada setiap orang yang bertemu akan memanggilnya dengan sebutan ‘Pak Guru’. Bagi kami sebutan tersebut merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan yang tulus dari warga mayarakat desa atas profesi Bapak yang begitu luhur. Hal tersebut jarang sekali aku temukan dalam strata masyarakat kota metropolitan yang nota bene mengaku modern dan intelek, namun kurang bisa menghargai sebuah prestasi, betapa pretasi tersebut begitu luhur.
Sementara ibu merupakan sosok wanita Jawa yang lemah lembut dan begitu sabar mengurus kedelapan anak-anaknya. Tidak ada sedikitpun keluh kesah dalam diri seorang ibuku, walaupun pada waktu kami masih kecil kondisi ekonomi kami bisa dikatakan hanya pas-pasan ibu tetap sabar dan tidak banyak menuntut kepada Bapak, seolah ibu mengerti betul bahwa materi bukanlah satu-satunya faktor utama untuk sebuah kebahagiaan.
Hal itulah yang membuat sosok Bapak sebagai seorang PNS, pegawai kecil dikampung, dikenal sebagai sosok yang jujur dan taat, walaupun serba kekurangan, tak ada selintaspun dalam pikiran Bapak untuk berbuat curang atau korupsi. Atas keuletan dan ketekunannya itulah karier Bapak bisa mencapai kedudukan sebagai Kepala Sekolah, itupun diraih karena didasarkan pada prestasi dan pengabdiannya, bukan dengan manipulasi dan menyuap, seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang modern di kota metropolitan ini.
Sementara Ibuku begitu telatenya mendampingi kami, banyak petuah dan nasehat yang begitu bermanfaat ketika kami telah dewasa dan kini tinggal di kota metropolitan yang dikenal garang dan angker. Bagaimana ibu mewanti-wanti kami agar mengerti tentang tata susila, sopan santun dan kejujuran yang kini sudah mulai pudar dan dilalaikan banyak orang. Ternyata wejangan dan petuah-petuah ibuku tidak pernah lekang ditelan zaman, walaupun ibu sendiri telah berpulang kealam baka.

***
Tidak terasa linangan air mata dan bulir-bulir bening menetes dari pelupuk mata kami masing-masing. Setelah selesai berdo’a bersama ketika kami semua pulang kampung dan berkumpul dalam rangka mudik Lebaran tahun ini, kami semua telah sepakat untuk berkumpul, berlebaran di-kampung halaman, dirumah tua peninggalan kedua orang tuaku.
Kami semua merasa terharu, seolah-olah dari kejauhan kedua orang tua kami, Bapak dan Ibu dari alam baka menyaksinkan betapa anak-anaknya masih masih begitu kokoh dan setia dalam menjaga amanat dan petuah yang  pernah diucapkannya dirumah tua yang ditinggalkanya.
Rumah tua itu benar-benar menjadi saksi sejarah yang tak pernah terputus, walupun telah lama ditinggal oleh sang pemiliknya. Sementara dari balik tirai pembaringanya dialam baka sana kedua orang tua itupun tersenyum bangga, karena anak-anaknya masih tetap sebagai sosok anak desa yang lugu, anak kampung yang tak  tercemar oleh polusi debu-debu kehidupan metropolitan yang sombong dan angkuh.
 Diluar terdengar gemerisik dedaunan saling berdansa ria, diiringi semilir angin yang melantunkan melodi nan indah. Samar-samar bayangan Bapak dan Ibuku dengan pakaian putih bersih saling bergandengan mesra, seraya melambaikan tangan sembari tersenyum kepada kami anak-anak dan cucunya dengan perasaan yang gembira, riang dan penuh keceriaan, pertanda amanatnya untuk menjaga rumah tua itu, telah dipenuhinya. *
Oleh : Ratman Aspari

Lido Permai, Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar