Selasa, 20 September 2011

Kereta Api Indonesia, Berperang Melawan Budaya “Penumpang Gelap”



Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi dalam setiap aspek kehidupan warga negaranya. Benarkah kini Indonesia sudah menjadi bangsa besar yang warganya mempunyai kepribadian dan tradisi kultural nan luhur? Mari kita tengok perjuangan setengah abad PT Kereta Api Indonesia melayani para pengguna jasanya, yang ternyata masih harus berhadapan dengan maraknya budaya “free rider”.

Rangkaian Kereta Api Bisnis Senja Utama baru saja meninggalkan Stasiun Tugu, Yogyakarta menuju pemberhentian akhir Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Seorang pria gelisah dengan tas ransel di pundak mencari tempat duduk kosong. Tengok kiri kanan, akhirnya lelaki yang tampak berusia 40 tahunan itu bersandar di kursi sebelah kaca jendela, dengan tetap tak melepas ransel seperti penumpang lain yang meletakkan barang bawaan di bagasi atas.

Tak sampai sepuluh menit, sepasang suami isteri datang ke tempat itu dan mencocokkan nomor bangku dengan tiket yang digenggam di tangan kanannya. Sontak, lelaki yang telah menduduki kursi ini beranjak. “Wah, maaf, saya salah nomer,” katanya, sembari bergegas pergi meninggalkan gerbong itu.

Begitulah antara lain modus perilaku seorang free rider alias penumpang gelap kereta api kita. Alih-alih membeli tiket resmi, para free rider ini memilih “bayar di atas” dengan beberapa skenario yang dapat dipilih, sesuai kemampuan dan kemauannya. Salah satu cara yang lazim ya seperti pria itu tadi, langsung naik dan menduduki kursi kosong, lalu begitu si empunya karcis resmi datang, ia pun menyingkir. Alternatifnya, bisa duduk di restorasi (kereta makan), bordes (lorong sempit sambungan antar gerbong), atau tidur beralas koran di sela-sela kursi para penumpang.

“Hematnya lumayan, bisa lebih dari 50 persen,” kata Mulyono, pekerja sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki frekwensi tinggi hilir mudik Jakarta-Yogyakarta. Ia memaparkan, para free rider yang menyebut dirinya karyawan PJKA (Pulang Jum’at Kembali Ahad) ini memiliki jaringan sangat rapi, bahkan nyaris menyerupai sebuah komunitas kekerabatan.

Berjumlah hampir seratus orang untuk setiap keberangkatan kereta bisnis dari Jakarta ke Yogya maupun sebaliknya setiap akhir pekan, mereka menjadi saling mengenal satu sama lain. “Bahkan komunitas ini memiliki semacam dana kas bersama. Kalau seorang anggotanya mengalami kesusahan, maka peti kas itu akan keluar sebagai dana solidaritas. Kalau di akhir tahun masih ada sisa dana, uang itu ramai-ramai dibuatkan kaos,” paparnya.

Berbeda dengan kisah lelaki yang kebingungan mencari tempat duduk karena tidak membeli karcis resmi tadi, maka free rider yang “terorganisir” ini mempunyai kode-kode tersendiri dalam menjalankan “ritual mingguan”nya. “Kami harus sudah berada di atas kereta sekitar satu jam sebelum jadwal KA diberangkatkan,” katanya. Jadi, kalau KA Senja Utama Yogyakarta dijadwalkan berangkat dari Stasiun Pasar Senen pada 19.45, maka kelompok ini harus sudah berada di atas gerbong kereta paling lambat pukul 18.45.

Mereka yang sudah terbiasa menggunakan cara ini tidak akan kesulitan menemukan rangkaian kereta yang belum diberangkatkan ke jalur sepur resmi itu. Tinggal menyusuri rel kereta api Stasiun Pasar Senen ke arah utara, maka nampaklah “kehidupan” di kereta yang bahkan belum terpasang lokomotifnya ini.

Begitu naik, seorang free rider tinggal mencari “koordinator perjalanan” dan membayar sesuai kesepakatan. Umumnya, dengan harga tiket resmi kereta bisnis Jakarta-Yogya tertulis seratus ribu rupiah, free rider tinggal membayar 30 ribu rupiah kepada sang koordinator. “Kalau ada PS biasanya lebih mahal, bisa mencapai 50 ribu rupiah,” kata Mulyono lagi. PS adalah istilah di dunia perkeretaapian untuk “Pemeriksaan Serentak”, saat di mana PT KA bekerjasama dengan kepolisian untuk menggeledah penumpang yang tidak berkarcis resmi.

Setelah membayar “ongkos numpang” antara 30-50 ribu rupiah tadi, maka anggota “paguyuban free rider” ini sudah dapat terbilang aman. Saat kondektur KA memeriksa tiket, mereka tinggal menyebut “password” yakni nama koordinator perjalanna tadi. Dijamin lolos, karena saat berkeliling menginspeksi karcis, sang kondektur dibuntuti langsung oleh beberapa pria berambut cepak, yang tak lain “bendahara” tempat para penumpang gelap menyetorkan ongkos numpangnya!

Meskipun PS merupakan peristiwa yang menakutkan bagi para free rider, namun tetap saja sanksi yang dikenakan tidak akan terlalu berat, seperti menurunkan penumpang tanpa karcis di tengah perjalanan, atau menerapkan denda dua kali lipat dari tarif resmi, seperti terpasang di papan-papan peringatan PT KA sesuai Undang-Undang Perkeretaapian. “Kalau kena PS, paling banter ya disuruh bayar sesuai harga tiket resminya,” kata seorang sumber Track lain yang mengaku menjadi free rider Jakarta-Yogya untuk KA Eksekutif Bima.

Ia bercerita, pernah mengalami operasi PS saat kereta melintasi kawasan Cirebon. Padahal, sebelumnya ia telah membayar 50 ribu rupiah, tentu saja tanpa tiket, kepada kondektur kereta itu. “Saat PS, saya tertangkap basah tidak memiliki tiket. Akhirnya disuruh bayar sesuai arah tujuan yang saya sebutkan,” katanya. Maka, lelaki ini pun kena charge Rp 140 ribu sesuai tujuan “Purwokerto” yang disebutkannya, meski sejatinya ia turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. “Begitu saya bayar sesuai harga tiket kepada petugas PS, maka uang 50 ribu rupiah yang telah saya berikan ke kondektur, ya saya minta kembali,” kisahnya.

Ya, budaya penumpang gelap KA di Indonesia memang tidak hanya menjadi “monopoli” kereta api ekonomi maupun bisnis, tapi juga menjalar ke rangkaian kereta eksekutif, yang seharusnya mengutamakan kenyamanan para penumpangnya. Selain KA Bima, bulan lalu jurnalis majalah ini menggunakan KA Argo Lawu Jakarta-Solo dan menjumpai banyak penumpang tanpa karcis bergerombol di bordes dekat toilet. Maklum, karena merupakan kereta kelas atas, free rider KA Eksekutif tidak bisa seenaknya tidur membeber koran di sela kursi, layaknya menumpang KA BIsnis Senja Utama. “Pilihannya, ya duduk di bordes, atau restorasi. Di restorasi ongkos nembaknya menjadi lebih mahal karena sesekali mendapat makan juga,” kata seorang free rider kelas eksekutif.

Tak jarang ajakan untuk kompromi mengatur harga sebagai pengganti tiket datang dari awak kereta api sendiri. Seorang rekan yang menjadi free rider KA Eksekutif Gajayana jurusan Jakarta-Malang pernah bercerita, kondektur kereta itu marah saat hanya disodori lembaran seratus ribuan, dari harga tiket resmi yang mencapai 200 ribu rupiah saat akhir pekan. “Kondektur itu minta tambahan, jadi saya harus keluar duit 120 ribu rupiah,” kata pria yang enggan disebut jati diri lengkapnya itu.

Namun, tidak semua perantau ibukota yang menyandang status “PJKA” dan berpenghasilan pas-pasan memilih menjadi free rider. Ariyanto, seorang peneliti organisasi non pemerintah di Jakarta Pusat menyatakan enggan “bayar di atas” meski dirinya sering pulang balik ke Yogyakarta dan tahu persis modus operasi praktek menjadi free rider kereta. “Saya pantang melakukan itu. Masak tiap hari kerja di LSM yang cuap-cuap anti korupsi, tetapi prakteknya mendukung praktek nyogok kayak gitu,” kata Ariyanto,

Pengamat transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy, Darmaningtyas, menyatakan, praktek free rider yang kerap terjadi pada angkutan kereta jarak jauh tak bisa dipungkiri dari “hukum ekonomi”. Menurutnya, selama masih ada pertemuan antara “permintaan” dan “penawaran”, maka budaya penumpang gelap seperti ini masih akan terus terpelihara. “Dalam hal ini demand nya berasal dari para penumpang yang ingin naik KA jarak jauh dengan bayar murah, sementara supply nya disediakan oleh para petugas KA itu sendiri,” kata Darmaningtyas.

Pria yang rajin menulis di berbagai media cetak ini menyimpulkan, ada dua cara untuk mengeliminir budaya free rider ini yakni pembenahan infrastruktur dan perbaikan sistem perkeretaapian kita, termasuk di dalamnya yakni sistem pengawasan terhadap para calon penumpangnya. “Kalau aturannya dilaksanakan secara ketat seperti di Singapura misalnya, praktek penumpang gelap tidak akan terjadi,” katanya.

Darmaningtyas memaparkan, di Singapura pengawasan terhadap prara calon penumpang berlangsung sangat ketat, sehingga hanya mereka yang memiliki tiket saja yang bisa masuk ke dalam gerbong kereta api. “Sebaliknya, sistem perkeretaapian Indonesia masih membuka peluang orang masuk ke dalam gerbong kereta tanpa tiket,” tegasnya. * (sumber : Jojo Raharjo)

Tim Track





Rabu, 10 Agustus 2011

Belajar Jurnalistik Tidak Harus di Kelas Moderen



Sedikit orang yang memahami arti penting sebuah tulisan dan sedikit pula yang menyadari kekuatan dari tulisan sebagai alat perjuangan. Dengan sebuah tulisan,ide,opini dan kritik tertuang dalam lembaran kertas dan diserap kedalam pikiran pembacanya.

Terserapnya ide dari sebuah tulisan ke pikiran pembaca adalah sebuah hal penting dalam melakukan sebuah pergerakan atau perubahan. Contoh nyata akan kuatnya sebuah tulisan terhadap pergerakan adalah korespondensi Kartini dengan teman-temannya. Surat-surat Kartini menjadi salah satu akan perubahan nasib perempuan di Indonesia.

Begiu pula dengan bangsa Yunani dan Mesir dikenal sebagai bangsa yang besar,karena banyaknya peninggalan yang terdokumentasikan melalui prasasti dan tulisan yang berarti bagi perkembangan peradaban generasi selanjutnya.

Berangkat dari kerangka tersebut diatas, Trade Union Rights Centre (TURC), sebuah lembaga yang konsen terhadap perjuangan kaum buruh, memprakarsai kegiatan Pelatihan Jurnalistik Untuk Aktivis Serikat Buruh, dengan tema “Media sebagai Bedil Perjuangan

Sebanyak 16 orang wakil dari organisasi serikat buruh yang ada di Jabodetabek, ikut dalam pelatihan jurnalistik yang digelar di kantor pusat TURC, Pejompongan, Jakarta Pusat, Sabtu (06/08).

Wini Angraeni, wartawan Majalah SWA dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang Jakarta, sebagai pemateri/nara sumber dalam pelatihan tersebut. Beberapa materi yang disampaikan,antara lain teknik dasar penulisan dan praktik, penulisan hard news dan sofnews, dan berbagai hal lain yag terkait dengan penulisan.

”Kalau bisa pelatiha seperti ini bisa terus berlanjut, rasanya tidak cukup untuk satu kali pertemuan ini saja, perlu ada kelanjutannya,” tutur Sukitman salah satu peserta dari Serikat Buruh Muslimin Indonesia.

Sementara itu Happy Rayna Stephany dari TURC selaku penanggung jawab pelatihan mengatakan, maksud dan tujuan pelatihan ini untuk membagikan pengetahuan dasar-dasar jurnalistik yang berguna bagi kepentingan aktivis serikat buruh. ”Selain itu juga untuk menyiapkan calon-calon reporter dari buruh (untuk media komunitas buruh dan Tabloid Lembaran Buruh (LEMBUR),”ujar wanita yang biasa di panggil Phany.

Pelatihan yang digelar selama satu hari ditengah bulan puasa, dengan gaya lesehan dan beralaskan tikar, tidak menyurutkan semangat para peserta. Apalagi sosok dan gaya Wini dalam membawakan materi yang cukup komunikatif, membuat peserta sangat antusias mengikutinya sampai sesi terakhir.

Disisi lain Risnawati Sinulingga Staff TURC, juga mengatakan, ”Suatu ide atau konsep tidak akan bertahan lama jika tidak diabadikan melalui sebuah tulisan. Ia akan mati terkubur bersama pemiliknya. Oleh karena itu, penting bagi aktivis-aktivis serikat buruh memahami dan tahu tentang dasar-dasar jurnalistik yang kedepannya ilmu ini diharapkan dapat dijadikan alat perjuangan demi kehidupan buruh yang lebih baik, dengan mengembangkan media di serikatnya masing-masing, serta dapat berpartisipasi dan berkonstribusi dalam tabloid Lembur yang diterbitkan oleh TURC. * (ratman aspari)

Sabtu, 02 April 2011

Pungli di Kereta Api Kelas Ekonomi ‘Progo’


Beberapa oknum berseragam yang bertuliskan ‘OTC, CV.Budi Karya’ melakukan pungutan liar (Pungli) di Kereta Api Kelas Ekonomi Progo, jurusan (Lempuyangan (Yogyakarta) – Pasar Senen (Jakarta). Awal kejadiannya pada hari Rabu (30/03/2011) ketika saya menggunakan jasa angkutan KA Progo dari stasiun Gombong,keberangkatan pukul 19.15 WIB, menuju ke Jakarta. Sebagaimana para penumpang lain, begitu KA datang sayapun langsung naik keatas kereta, tanpa memilih gerbong berapa, apalagi didalam karcis/tiket keretapun telah tertera ‘bebas tempat duduk’.
             
Tanpa sengaja begitu naik, saya menendapatkan bangku dari kayu sebuah kotak/bok yang biasa untuk menyimpan peralatan kebersihan,tertutup rapi sehingga menjadi sebuah bangku yang layak untuk duduk,apa boleh buat dari pada berdiri,pikir saya, akhirnya saya duduk disitu. Berada di sebelah kamar mandi atau depan pintu sebelah kanan (yang kebetulan tidak dibuka/sengaja dikunci),tepat di depan sambungan gerbong,satu rangkaian dengan gerbong restorasi. Di ujung bangku,tepatnya didepan pintu ada seorang penumpang dari Yoga, melihat ransel dan potongan tubuhnya,serta setelah berkenalan rupanya ia seorang anggota ABRI dari pasukan khusus AD, tidak berapa lama satu orang duduk disebelah saya, sehingga posisi saya berada ditengah.
                Sementara dibangku dekat pintu sebelah kiri, duduk dua orang petugas kebersihan, dan satu orang lagi berdiri di belakang (disambungan antar gerbong-red), dari seragam yang dikenakannya, dibagian depan tertulis ‘OTC’ sementara dibagian lain tertulis ‘CV.Budi Karya’, berwarna abu-abu berpadu kuning dan coklat disebelah atasnya.
Dari seragam yang dikenakannya ketiga petugas tersebut rupanya karyawan dari perusahaan sebagaimana yang tertera di seragamnya yang dipekerjakan sebagai tenaga kebersihan/cleaning service di KA Kelas Ekonomi Progo. (Niat baik PT.KA untuk memberikan pelayanan kepada para penumpang, patut kita acungkan jempol, paling tidak kamar mandi di KA kelas ekonomi tersebut lebih wangi di bandingkan sebelum adanya mitra kerja dari petugas tersebut. Walaupun terkadang sampah yang ada di KA kelas ekonomi masih menjadi obyekan para pembersih ilegal).
Namun sayang, seribu sayang itikad dan niat baik dari PT.KA tersebut disalahgunakan oleh beberapa oknum berseragan CV.Budi Karya tersebut. Ketika KA Progo mulai berjalan dari stasiun Gombong, dengan serta merta salah seorang dari petugas berseragam CV.Budi Karya (yang berdiri-red) langsung menegur saya.
“Maaf Pak, karcisnya ada....???”, secara langsung saya menjawabnya sembari menyodorkan karcisnya. “Ada, nih.......” (dalam benak saya saat itu, ada sesuatu yang ganjil antara bingung dan kurang paham, biasanya yang menanyakan karcis/tiket adalah kondektur didampingi polisi khusus kereta api (Polsuska). Lho ini hebat amat, baru pakai seragam dari CV.Budi Karya sudah berani nanya-nanya karcis penumpang....???, dalam hati saya)
“Maaf Pak, kalau di gerbong restorasi ini dikenakan biaya tambahan dan harus bayar tambahannya sebesar ‘Rp.15.000,-/per-orang, seandainya bapak keberatan silahkan cari tempat di gerbong lain saja,”kata petugas berseragam CV.Budi Karya yang tadi menanyakan karcis.
“Lho saya kan sudah punya karcis,masa masih harus bayar lagi,”saya mencoba berargumentasi. Rupanya petugas itupun tetap ngotot dan mempersilahkan saya untuk ke gerbong lain. Namun karena ingin lebih tahu, sekaligus sebagai investigasi kecil-kecilan,akhirnya saya tidak banyak membantah alias nurut saja,sembari menyodorkan uang dua puluh ribuan dan langsung dikembalikan lima ribu rupiah.
Sementara penumpang yang disamping saya, rada ngedumel juga bahkan sempat melakukan tawar menawar, dan rupanya si petugas berseragam CV.Budi Karya tetap bersikukuh dengan ‘pungutan liar’ sebesar itu, (hal ini bisa dimaklumi karena kondisi KA Progo saat itu cukup padat, jadi nilai tawar punglinyapun tinggi - red).
Tidak berbeda dengan kondisi bangku dekat pintu sebelah kanan,kondisi bangku sebelah kiri yang tadinya di duduki dua orang petugas berseragam dengan tulisan OTC, CV.Budi Karya,juga cukup gaduh,setelah dua orang petugas berseragam CV.Budi Karya berdiri,ada seorang penumpang hendak duduk disitu,namun ketika diminta tarip tambahannya rupanya keberatan, lebih baik memilih tempat di gerbong lain, daripada duduk disitu dipungli Rp.15.000,-, sembari ngeloyor berjalan kearah,gerbong depan.
Tidak berapa lama, dua orang petugas berseragam CV.Budi Karya yang tadi duduk pergi kebelakang dan datang lagi  dikuti lima orang anak muda, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Petugas berseragam mempersilahkan mereka duduk di dekat pintu sebelah kiri tersebut. Namun karena kapasitas tempat duduknya cuma untuk tiga orang,maka terpaksa yang dua orang duduk dibawahnya sembari menggelar koran. Kegaduhan kembali terjadi ketika kelima anak muda tersebut dimintai biaya tambahan,alias pungli masing-masing Rp.15.000,-, sehingga total untuk lima orang Rp.75.000,-. Penumpang disampping saya yang tadi ngedumel berbisik kepada saya, “Kasihan, duduk dibawah gelar koran di gerbong restorasi seperti ini, masih di pungli Rp.15.000,- juga”.
Sayapun tersenyum, antara kesal dan sedih. Kesal, karena tega-teganya oknum berseragam yang bertuliskan OTC, CV.Budi Karya memperlakukan para penumpang seperti itu, apa mereka tidak berpikir,mungkin diantara para penumpang itu ada yang berbekal pas-pasan. Dan lebih kesalnya lagi, apa perbutan oknum tersebut tidak diketahui oleh Polsuska atau Kondektur,atau jangan-jangan diantara mereka justru saling kong-kalikong,alias bagi-bagi lahan pungli. Indikasi terjadi kong kalikong begitu kuat, mengingat selama perjalanan sampai Jakarta, kondektur, petugas pencatut karcis, cuma satu kali memeriksa,itupun ala kadarnya saja, padahal biasanya sampai tiga kali diperiksa ketika kita berada digerbong biasa. (bagi-bagi lahan di KA Kelas Ekonomi Progo.....???, mungkin saja...)
Dari situlah terjadi suatu obrolan seru seputar ‘Gerbong Restorasi, dan hal lain di kereta api’ dari kami bertiga yang satu bangku, penumpang disamping saya, saya sendiri dan anggota ABRI yang ada di depan pintu. Menurut anggota ABRI yang berada disamping kanan saya, kalau mau duduk di dalam ‘Gerbong Restorasi’, dengan bangku yang lebih nyaman dikenakan biaya tambahan Rp.20.000,-/per-orang, bahkan dengan nilai sebesar itu bisa tanpa karcis,jelasnya. Padahal untuk tarif KA Progo dari Lempuyangan (Yogyakarta) sampai Jakarta, tarifnya sekitar Rp.35 ribuan.
Sementara menurut penumpang yang ada disamping kiri saya, bahwa ada satu gerbong khusus yang biasa digunakan oleh para pemakai jasa KA kelas ekonomi seperti ini yang biasa pulang ke daerah setiap hari Sabtu (istilah mereka perkumpulan-red), dengan membayar tarif untuk kelas ekonomi sekitar Rp.20 ribuan tanpa karcis, dikoordinir langsung oleh salah satu oknum di lingkungan PT.KA.
Istilah perkumpulan yang biasa pulang kedaerah setiap hari Sabtu, tanpa membeli karcis memang pernah saya dengar dari seorang tetangga ketika saya tinggal di Bogor, bahkan tetangga saya yang waktu itu istrinya menetap di Semarang mengharuskan untuk sesering mungkin pulang. Untuk pulang ke Semarang,kata tetangga saya tersebut,biasanya cuma memberikan salam tempel diatas KA ketika ada pemeriksaan, besarnya salam tempel tergantung jauh dekatnya tujuan, antara lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah,katanya.
Untuk mencari kebenaran hasil obrolan tersebut,sekaligus ingin mengetahui keberadaan para petugas kebersihan berseragam CV.Budi Karya yang sejak menerima pembayaran dari kelima anak muda tadi langsung raib entah kemana, sayapun iseng-iseng duduk di Restorasi sembari memesan kopi, ketika ada seorang petugas dari PT.KA dengan seragam warna telur asin (biru-red),saya iseng-iseng mengorek kebenaran hasil obrolan tersebut,entah kenapa petugas tersebut cuma senyum-senyum saja, enggan untuk menjawabnya.
Apabila semua itu benar, dengan asumsi sebagaimana tersebut diatas,seandainya setiap perjalanan untuk KA ekonomi dipukul rata 50 orang penumpang yang dikoordinir tanpa karcis, untuk setiap penumpang dipungut Rp.20 ribu dan masuk ke kantong oknum yang kurang bertanggung jawab maka bisa dibayangkan besarnya uang yang menguap di PT.KA bisa mencapai milyaran rupiah pertahunnya.
Ini baru satu kereta api kelas ekonomi ‘Progo’ jurusan Lempuyangan (Yogyakarta) – Pasar Senen (Jakarta), lantas bagaimana dengan KA kelas bisnis dan eksekutif serta kereta api sejenis untuk tujuan yang lain.......???, apa bisa dijamin tidak ada pungli, entahlah.......??. Kondisi seperti ini lebih diperparah dengan pelayanan yang buruk, kurang nyaman, mulai ketika penumpang mengantri tiket, duduk di atas kereta api, sampai ketika turun dari kerata api sangat terasa, terutama untuk kereta api kelas ekonomi, sehingga terjadilah dua titik temu kepentingan tersebut.
Sedih, karena para oknum tersebut menganggap bahwa ‘gerbong restorasi’, ataupun ‘gerbong-gerbong khusus’ tersebut adalah lahan pribadi mereka, dengan demikian mau diapakan lahan tersebut bebas-bebas saja, seolah-olah merekalah yang punya.
Mereka tidak menyadari bahwa biaya perawatan KA, gaji pegawainya, aliran listriknya, kecuali dari pemasukan uang rakyat yang nota bene membeli karcis, termasuk juga uang pajak dari rakyat. Kalau para oknum tersebut berlindung dibalik alasan-alasan klise, kecilnya gaji yang mereka terima, dan lain sebagainya, sungguh sangat tidak masuk akal.
Sudah seharusnya Menteri Negara BUMN, Jajaran Direksi dan Direktur Utama Kereta Api harus turun tangan membersihkan oknum-oknum yang menyengsarakan rakyat seperti ini. Para petinggi PT.Kereta Api jangan hanya bisa berteriak, bahwa selama ini KA merugi, tetapi harus bertindak tegas membersihkan oknum-oknum dilingkungan perusahaannya yang kurang bertanggung jawab, yang sudah jelas menggerogoti keberadaan PT.KA itu sendiri.
Di sisi lain pentingnya penyadaran kepada warga masyarakat untuk malu tidak membeli karcis. Namun saya yakin bahwa warga masyarakat, apalagi untuk kelas ekonomi lemah sejatinya sangat nurut, buktinya ketika loket karcis belum dibuka warga masyarakat yang akan menggunakan jasa angkutan kereta api,rela ngantri berjam-jam untuk sekedar membeli karcis/tiket kereta api,apalagi pada waktu hari libur atau hari raya tertentu. Dari pantauan dilapangan prosentase bagi mereka yang tidak memiliki karcis untuk kelas ekonomi dalam kondisi saat ini untuk tujuan jarak jauh bisa dibilang kecil, lain halnya untuk area Jabodetabek masih bisa dibilang cukup besar.
Pada prinsipnya rakyat akan sangat nurut dan patuh, apabila sistem dan pelayanan yang diberikan juga sebanding dengan yang diterima oleh pemakai jasa transportasi tersebut. Buktinya KA kelas ekonomi selalu dipadati oleh para penumpang, rela berdesak-desakan. Namun anehnya, kok tetap merugi, apa benar.....??. * (ratman aspari).

Jumat, 11 Maret 2011

Ketemu Teman – Teman SMA di RS Cikini


Waktu telah menunjukan pukul 12.00 WIB,pada hari Kamis 10 Maret 2011, ketika acara “Round Table Discussion On Political Situation In The Middle East” di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jl.Proklamasi,Menteng, Jakarta Pusat, baru saja usai aku ikuti. Ada beberapa nara sumber yang sebenarnya ingin aku wawancara ketika itu, namun karena sudah janjian untuk menjenguk rekan satu SMA yang sedang sakit di RS Cikini, Mas Budi Kantong (begitu biasa kami memanggilnya, padahal nama sebenarnya cukup bagus Budianto-red) akhirnya segala wawancara aku serahkan kepada rekan satu timku, kebetulan aku sendiri sudah mengambil moment  beberapa sesi penting, termasuk para tokoh yang hadir, tidak luput dari jepretan kameraku...aman. Maka dengan terburu-buru akupun segera meluncur ke RS Cikini, berboncengan motor dengan temanku yang lain.
            Memasuki gerbang RS Cikini,ditengah suasana yang begitu terik, beberapa kali aku bertanya sama satpam ruang, K nomor 3 dimana rekan SMA ku Mas Budi dirawat, sebagaimana sms dari rekan-rekanku semalam. Suasana agak ramai karena pas jam besuk, setelah menyusuri lorong-lorong, sesekali melihat setiap ruangan, dengan bangsal berjajar dengan rapi, akhirnya ruang K nomor 3 bisa aku temukan.
            Mba Ning Hartati lebih dahulu sudah ada disana terlihat sedang ngobrol dengan beberapa kerabat Mas Budi, tampaknya baru sampai juga. Pada mulanya aku maupun Mba Ning juga sama-sama pangling, saya pikir juga kerabatnya Mas Budi. Namun setelah memperkenalkan diri rekan satu SMA, kami baru tahu.   
            Senyum Mas Budi masih seperti dulu, dalam kondisi sakitpun tidak terlihat sedih, masih seneng ngobrol dan suka bercanda. ‘Pangling’ (bahasa Jawa,agak lupa-red) lagi-lagi itulah hal pertama kami saling ketemu, setelah sekian puluh tahun kami tidak saling ketemu.          
            “Mas Budi sudah terlihat cerah dan agak mendingan, tapi tolong HP-nya jangan dilihatin, nanti Mas Budi minta, maunya nelpon terus ”kata salah seorang kerabat Mas Budi, ketika kami akan masuk. Kemarin ngamuk, pinginya minta nelpon terus, lanjut kerabat yang lain. Dari informasi kerabat tersebut bahwa Mas Budi sudah lima hari dirawat di RS.Cikini, ‘Gagal Ginjal’, dan harus menjalani cuci darah.
            “Mas Budi, orangnya gak bisa diam, kata salah seorang lelaki yang juga kerabat Mas Budi. Kalau sudah olahraga gak inget waktu, senengnya main badminton terkadang sampai larut malam, mungkin kecapean,”lanjutnya.
            Tidak beberapa lama, datang rombongan lagi, dari jauh aku mengenal wajahnya, Mas Sobingin, Imam dan dua orang lagi aku rada pangling, setelah salaman dan guyonan ala Gombong, aku baru ngeh, ternyata Mas Sasongko (yang baru saja nelpon tadi pas aku dijalan - red) dan Mas Sumar.
            Suasana semakin riuh, Mas Budi tampak senang, senyum khasnya terus mengembang. Tidak beberapa lama kemudian datang satu rekan lagi, Mba Daya Wikarti, dari sosok dan penampilanya yang khas tinggi dan tegap dari jauh sudah bisa dikenali. Bahkan beberapa rekan pada berbisik-bisik,“coba biarin, jangan ditegur dulu, pangling apa tidak”.
Namun wajah Mas Sobingin yang sudah popular, rupanya mudah dikenali pula, maka spontan gaya dan sapaan khas Gombongpun keluar juga. Suasana tambah meriah, apalagi gaya dan canda Mba Daya, Mas Imam dan Mas Sasongko, semakin mengingatkan suasana ketika kita masih di-bangku SMA dulu, tambah gayeng.
            Tidak terasa waktu begitu cepat bergulir, dari jauh dua sosok lelaki berpakaian seragam biru dongker, petugas keamanan RS Cikini datang, menegur kami semua, “Maaf, ya jam besuknya sudah habis, silahkan menunggu diluar,”kata petugas keamanan, sembari mempersilahkan kami semua segera meninggalkan ruangan tersebut. Aduh.......???
            Ketika akan berpamitan, tampaknya Mas Budi sudah mulai ngantuk, tertidur, akhirnya kami pamitan sama kerabat yang menunggunya, menurut informasi istrinya sedang mengurus surat-surat, jadi kami semua tidak ketemu dengan istri Mas Budi.
“Mas Budi sudah dikaruniai tiga orang anak, begitu informasi dari salah seorang kerabat, maklum sudah sekian lama baru pada ketemu, hal pertama yang ditanyakan biasanya ya, jumlah anak.
            Sebelum meninggalkan ruangan,...kami semua berdo’a untuk kesembuhan Mas Budi......’Ya, Alloh berilah kesembuhan dan angkatlah penyakit yang ada pada sahabat dan rekan kami ini. Berikanlah kesabaran dan ketabahan. Mudah-mudahan dibalik semua ini, ada hikmah yang lebih baik bagi diri Mas Budi dan keluarganya,”Amiin.

Bangku Taman Menjadi Saksi

            Setelah diusir secara halus oleh pihak keamanan RS Cikini, akhirnya kami menyingkir keluar, padahal kami masih pada kangenan, apa tega pada mau langsung pulang, dalam hati kami masing-masing. Akhirnya kami sepakat untuk mencari tempat nongkrong. Ditaman RS Cikini, kebetulan ada bangku, dibawah sebuah pohon cukup rindang didepanya terhampar rumput halus, rupanya pihak manjemen RS Cikini, cukup jeli dalam mengatur taman, tertata cukup  rapi..
Disitulah kami duduk-duduk, menumpahkan rasa kangen yang sudah sekian puluh tahun terpendam, ngobrol ngalor – ngidul, sesekali banyolan, kelakar dan guyonan segar meluncur dari kami semua, suasanapun semakin meriah.
Wah, ini sejarah dan moment yang bagus, akhirnya beberapa kali jepretan mengabadikan kami semua, macam-macam ulah dan gayanya, maklum ketemu temen lama..
  Ditengah kami sedang asyik-asyiknya ngobrol, lagi-lagi petugas keamanan berseragam biru dongker datang lagi. Eh...ternyata beberapa orang diantara kami ada yang merokok, petugas menegur bahwa ini area/kawasan bebas rokok, “Dilarang Merokok”. Wah, untung cuma ditegur, kalau didenda suruh bayar dan kena pasal berabeh dah........(kalau tidak salah Mas Sasongko dan Mas Imam yang merokok, ya......). Biasa gaya 87-an masih dipakai,.....!!!
Karena ada kepentingan, Mas Imam terlebih dahulu pamitan, teganya beliau meninggalkan kami semua, lambaian tangan kami semua mengantar kepergian Mas Imam, sembari disaksikan bangku taman dan hamparan rumput hijau, seolah ikut merasakan kerinduan yang ada pada diri kami masing-masing.
Tidak beberapa lama Mas Imam pergi, datang dua rekan lagi Mas Udang dan Mas Sobari. Kali ini Mas Sumar tampak lebih bersemangat, karena kami semua tahu bahwa dua sahabat kami ini, terutama Mas Sobari sejak dulu sangat dekat dengan Mas Sumar.
Suasana tambah semakin meriah, apalagi dari jauh Mas Kasiman (tinggal di Bandung) pingin ikut nimburng juga, walaupun cuma lewat handphone. Kemerihanan semakin menjadi ketika terjadi joke segar dan deal-deal antara Mas Kasiman dari seberang sana dan Mas Sasongko, biasa lagu lama..........kelakar rekan-rekan yang lain.
Hari Kamis, tanggal 10 Maret 2011, bertempat di RS.Cikini, Jakarta Pusat, semoga rekan-rekan dan sahabat-sahabat semua juga tidak lupa mencatatnya dalam buku diary/harian masing-masing. Sejarah telah menentukan bahwa hari itu kami semua bisa bertemu dalam suasana, antara sedih dan bahagia. Sedih, karena salah satu dari rekan dan sahabat kami sedang mendapat ujian dari Tuhan YME, menjalani perawatan di RS Cikini ini, semoga lekas sembuh, dan diberi kekuatan.
Dan bahagia, karena sudah sekian puluh tahun, tiba-tiba seperti mimpi, kami semua bisa bertemu, berkumpul dan saling bercada, guyonan (persis seperti masa lalu) ditempat seperti ini yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, apalagi melalui rapat dan undangan, hanya spontanitas lewat sms, facebook saja.
Dan bayangkan saja diantara kami yang hadir saling berjauhan tempat tinggalnya, Mas Sobingin dari Karawang, Mas Sumar dari Purwakarta, Mas Sasongko dari Bekasi, Mba Ning Hartati, dan Mba Daya juga langsung dari Bekasi, rela mencari alasan izin dari tempatnya bekerja. Sedangkan aku, Mas Imam dan Mas Udang dari Jakarta Timur dan Mas Sobari dari Mangga Dua,Jakarta Utara, juga langsung dari tempat kerjaanya.
Inilah rahasaia dan kehendak Yang Maha Kuasa, kita sebagai hambanya hanya bisa berusaha, bersyukur dan menjalaninya. Alhamdulillah. * (catatan kecil Mas Ratman)