Selasa, 10 Agustus 2010

Opini : Mahluk itu Bernama Korupsi


Meski negeri ini dihuni oleh masyarakat yang cukup agamis, berbagai penelitian internasional, antara lain dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) dan Transparancy International (TI) telah menetapkan, Indonesia termasuk sebagai Negara terkorup di dunia.
            Dihadang oleh berbagai institusi pengawasan dan gertakan undang-undang maupun badan pengawasan serta acaman pembasmian, seperti, UU RI Nomor 20/2001, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikenal sebagai lembaga yang agung (supreme audit), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang konon amat “galak”, berbagai inspektorat sampai Bawasda, belum lagi DPR/DPRD. Di era tahun 1970-an, sudah ada Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara.Sampai kini ada kementerian khusus yang mengurusi penertiban aparatur Negara (Men-PAN) dan macam-macam badan ataupun lembaga pengawasan lainnya.
            Meski demikian, korupsi tetap berjalan dengan langkah leha-leha, santai dan aman. Barangkali lantaran korupsi termasuk virus social yang sepantar tuannya dengan profesi pelacur atau portitusi, penyakit ini sulit disembuhkan. Sikap masyarakat yang terlanjur kecipratan pengaruh budaya feodal dan sistem masyarakat kapitalistik yang lebih menghargai kekayaan ketimbang kejujuran ataupun kesederhanaan,membuat gerak korupsi kian subur. Padahal kejujuran dan kesederhanaan merupakan upaya paling praktis untuk tidak berbuat korupsi. Intinya, kembali kepada faktor manusiannya, bukan aturannya. Nyaris tak ada manfaatnya kita membuat berbagai aturan, jika faktor moralitas aparat tidak bisa diandalkan.
            Pemelotan tindak korupsi sebenarnya telah berlangsung sejak dulu kala. Tahun 1930an misalnya, telah ditemukan dokumen akutansi The Exchequers of England and Scotland, jauh sebelum Perancis dan Italia mengadakan kegiatan audit dan pengawasan di abad 13 bagi para pejabat publik. Di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai pemerintahan Bung Karno juga sudah ada langkah-langkah prefensi secara hukum.
            Pada awal pemerintahannya, SBY telah mencanangkan Gerakan Aksi Nasional Anti Korupsi bersamaan dengan Hari Anti Korupsi Internasional yang ditetapkan oleh PBB. Tak tanggung – tanggung, pada tanggal 09 September 2004 muncul Inspres Nomor /2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk kongkrit pemerintah dalam memberangus tindak terkutuk itu.
            Di kalangan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah lahir Kepmendiknas Nomor : 030/0/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional serta Kepmendiknas No.097/U/2002 tentang Pedoman Pengawasan Pendidikan, Pembinaan Pemuda dan Pembinaan Olahraga. Lalu, disusul dengan Kepmendiknas No.027/P/2005 tentang Pembentukan Tim Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang diketuai oleh Inspektur Jenderal Depdiknas. Mendiknas sendiri bertindak sebagai penangung jawab.
            Berbagai modal untuk memberantas korupsi di lingkungan pendidikan sudah amat cukup sebagai modal action. Hasilnya ?, belum maksimal, semua nyaris tak mempan. Berbagai kasus BOS dan DAK muncuk disana-sini. Terlalu banyak pejabat pendidikan diciduk dan dimasukan bui, gara-gara tergoda anggaran yang menggiurkan.
            Amat tragis, dulu dikeluhkan minimnya anggaran hingga tantangan utama untuk memajukan pendidikan selalu menghadang. Kini anggaran pendidikan sudah dicanangkan mencapai 20 persen dari seluruh RAPBN 2009. Bayangkan, angka setelah revisi saja menyebutkan, besaran anggaran itu mencapai Rp.207,1 triliun. Wow.!
            Pencipta sistem Network TwentyOne, Jim Dorman, dan pakar kepemimpinan serta motivasi, Ohan C.Maxwell, pernah “menyindir” kita ketika melihat terlalu banyak UU, aturan dan institusi pengawasan/audit. Menurut mereka, berbagai perangkat itu tak lebih hanya bersifat visioner, padahal yang dibutuhkan adalah praktik dari bangunan impian itu.
           Jadi, terasa percuma saja kita terus – menerus membangun mimpi, jika pada kenyataannya korupsi tetap subur, Indonesia terus “menjaya” dan mendominasi peringkat tertinggi dalam urusan menggarong uang rakyat.
Lebih baik menempuh jalan praktis saja, kembali ke masalah pembangunan manusia seutuhnya, termasuk moralitas. Lebih murah dan praktis..!!
Oleh : W.Suratman
*) Penulis Adalah Seorang Jurnalist.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar