Selasa, 10 Agustus 2010

Budaya Lokal dalam Sastra di Mata Cerpenis


Dongeng telah memukau kita sejak anak-anak hingga masa tua, seperti pitutur akan Kancil Mencuri Timun, Sangkuriang, Bawang Putih Bawang Merah atau Timun Emas. Lewat narasi-narasi lisan itu kita memasuki jagat petualangan yang indah.
            Bagaimana dongeng masa kini ? Kita tak hanya makin kehilangan dongeng tapi juga teater tradisi, upacara adat, berbagai pitutur atau cerita lisan di tengah makin menguatnya pragmatisme. Kemajuan jaman makin mendorong kita hanya peduli pada kebutuhan jangka pendek, menjebak dalam pusarannya. Kita juga makin sulit untuk membedakan antara nilai dan hal-hal yang artifisial, tidak hirau denga budaya lokal, bahkan ada yang melihatnya sebagai hal kuno, ketinggalan jaman.
            Meski demikian, di banyak daerah geliat untuk menjaga budaya lokal itu tetap ada baik lewat kepedulian individu atau komunitas meski tak sesemarak dan gemerlap budaya lain yang masuk kategori meoderen. Ini merupakan angin segar.
            Seperti itu juga yang ada dalam sebuah kumpulan cerita pendek dari 11 penulis berjudul ‘Kolecer dan Hari Raya Hantu” berisikan 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Para cerpenis yang terdiri dari berbagai usia serta pengalaman ini mengangkat bermacam tradisi yang ada di daerah asal mereka. Warna-warna lokal dalam tradisi setempat dijadikan kisah-kisah yang menarik dalam kemasan dunia kata yang apik.
            Pengamat sastra ternama Maman S.Mahayana menuliskan pendapatnya dalam buku ini, “Inilah kisah-kisah eksotisme Nusantara, sangat ‘Indonesia’. Warna lokal yang khas dengan segala keunikannya, tidak seksedar mewartakan protes sosial dalam narasi yang memuakau, lalu berkelindan dalam representasi kultur etnik, tapi juga menjelma lanskap keindonesiaan.”
            “Sebuah keberagaman budaya yang penuh warna-warni, heterogen, dan sekaligus unik, eksotik. Panorama itu laksana berada di antara garis tipis fakta-mitos yang bagi masyarakat Barat, kerap dituding sebagai irasional, tahyul, dan ditempatkan dalam wilayah supernatural.
            Inilah antologi cerpen yang benar-benar Indonesia. Itulah pintu masuk untuk memahami keindonesiaan yang multikultur. Di situlah bersemayam ruh antalogi cerpen ini”, ujar Maman S Mahayana, dosen tamu Hankuk University of Ferign Studies, Seoul, Korea Selatan. Pengantar buku ini diberikan oleh Free Hearty, pengamat budaya dan juga dosen Universitas Al-Azhar Jakarta. * (ratman aspari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar