Selasa, 20 September 2011

Kereta Api Indonesia, Berperang Melawan Budaya “Penumpang Gelap”



Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi dalam setiap aspek kehidupan warga negaranya. Benarkah kini Indonesia sudah menjadi bangsa besar yang warganya mempunyai kepribadian dan tradisi kultural nan luhur? Mari kita tengok perjuangan setengah abad PT Kereta Api Indonesia melayani para pengguna jasanya, yang ternyata masih harus berhadapan dengan maraknya budaya “free rider”.

Rangkaian Kereta Api Bisnis Senja Utama baru saja meninggalkan Stasiun Tugu, Yogyakarta menuju pemberhentian akhir Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Seorang pria gelisah dengan tas ransel di pundak mencari tempat duduk kosong. Tengok kiri kanan, akhirnya lelaki yang tampak berusia 40 tahunan itu bersandar di kursi sebelah kaca jendela, dengan tetap tak melepas ransel seperti penumpang lain yang meletakkan barang bawaan di bagasi atas.

Tak sampai sepuluh menit, sepasang suami isteri datang ke tempat itu dan mencocokkan nomor bangku dengan tiket yang digenggam di tangan kanannya. Sontak, lelaki yang telah menduduki kursi ini beranjak. “Wah, maaf, saya salah nomer,” katanya, sembari bergegas pergi meninggalkan gerbong itu.

Begitulah antara lain modus perilaku seorang free rider alias penumpang gelap kereta api kita. Alih-alih membeli tiket resmi, para free rider ini memilih “bayar di atas” dengan beberapa skenario yang dapat dipilih, sesuai kemampuan dan kemauannya. Salah satu cara yang lazim ya seperti pria itu tadi, langsung naik dan menduduki kursi kosong, lalu begitu si empunya karcis resmi datang, ia pun menyingkir. Alternatifnya, bisa duduk di restorasi (kereta makan), bordes (lorong sempit sambungan antar gerbong), atau tidur beralas koran di sela-sela kursi para penumpang.

“Hematnya lumayan, bisa lebih dari 50 persen,” kata Mulyono, pekerja sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki frekwensi tinggi hilir mudik Jakarta-Yogyakarta. Ia memaparkan, para free rider yang menyebut dirinya karyawan PJKA (Pulang Jum’at Kembali Ahad) ini memiliki jaringan sangat rapi, bahkan nyaris menyerupai sebuah komunitas kekerabatan.

Berjumlah hampir seratus orang untuk setiap keberangkatan kereta bisnis dari Jakarta ke Yogya maupun sebaliknya setiap akhir pekan, mereka menjadi saling mengenal satu sama lain. “Bahkan komunitas ini memiliki semacam dana kas bersama. Kalau seorang anggotanya mengalami kesusahan, maka peti kas itu akan keluar sebagai dana solidaritas. Kalau di akhir tahun masih ada sisa dana, uang itu ramai-ramai dibuatkan kaos,” paparnya.

Berbeda dengan kisah lelaki yang kebingungan mencari tempat duduk karena tidak membeli karcis resmi tadi, maka free rider yang “terorganisir” ini mempunyai kode-kode tersendiri dalam menjalankan “ritual mingguan”nya. “Kami harus sudah berada di atas kereta sekitar satu jam sebelum jadwal KA diberangkatkan,” katanya. Jadi, kalau KA Senja Utama Yogyakarta dijadwalkan berangkat dari Stasiun Pasar Senen pada 19.45, maka kelompok ini harus sudah berada di atas gerbong kereta paling lambat pukul 18.45.

Mereka yang sudah terbiasa menggunakan cara ini tidak akan kesulitan menemukan rangkaian kereta yang belum diberangkatkan ke jalur sepur resmi itu. Tinggal menyusuri rel kereta api Stasiun Pasar Senen ke arah utara, maka nampaklah “kehidupan” di kereta yang bahkan belum terpasang lokomotifnya ini.

Begitu naik, seorang free rider tinggal mencari “koordinator perjalanan” dan membayar sesuai kesepakatan. Umumnya, dengan harga tiket resmi kereta bisnis Jakarta-Yogya tertulis seratus ribu rupiah, free rider tinggal membayar 30 ribu rupiah kepada sang koordinator. “Kalau ada PS biasanya lebih mahal, bisa mencapai 50 ribu rupiah,” kata Mulyono lagi. PS adalah istilah di dunia perkeretaapian untuk “Pemeriksaan Serentak”, saat di mana PT KA bekerjasama dengan kepolisian untuk menggeledah penumpang yang tidak berkarcis resmi.

Setelah membayar “ongkos numpang” antara 30-50 ribu rupiah tadi, maka anggota “paguyuban free rider” ini sudah dapat terbilang aman. Saat kondektur KA memeriksa tiket, mereka tinggal menyebut “password” yakni nama koordinator perjalanna tadi. Dijamin lolos, karena saat berkeliling menginspeksi karcis, sang kondektur dibuntuti langsung oleh beberapa pria berambut cepak, yang tak lain “bendahara” tempat para penumpang gelap menyetorkan ongkos numpangnya!

Meskipun PS merupakan peristiwa yang menakutkan bagi para free rider, namun tetap saja sanksi yang dikenakan tidak akan terlalu berat, seperti menurunkan penumpang tanpa karcis di tengah perjalanan, atau menerapkan denda dua kali lipat dari tarif resmi, seperti terpasang di papan-papan peringatan PT KA sesuai Undang-Undang Perkeretaapian. “Kalau kena PS, paling banter ya disuruh bayar sesuai harga tiket resminya,” kata seorang sumber Track lain yang mengaku menjadi free rider Jakarta-Yogya untuk KA Eksekutif Bima.

Ia bercerita, pernah mengalami operasi PS saat kereta melintasi kawasan Cirebon. Padahal, sebelumnya ia telah membayar 50 ribu rupiah, tentu saja tanpa tiket, kepada kondektur kereta itu. “Saat PS, saya tertangkap basah tidak memiliki tiket. Akhirnya disuruh bayar sesuai arah tujuan yang saya sebutkan,” katanya. Maka, lelaki ini pun kena charge Rp 140 ribu sesuai tujuan “Purwokerto” yang disebutkannya, meski sejatinya ia turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. “Begitu saya bayar sesuai harga tiket kepada petugas PS, maka uang 50 ribu rupiah yang telah saya berikan ke kondektur, ya saya minta kembali,” kisahnya.

Ya, budaya penumpang gelap KA di Indonesia memang tidak hanya menjadi “monopoli” kereta api ekonomi maupun bisnis, tapi juga menjalar ke rangkaian kereta eksekutif, yang seharusnya mengutamakan kenyamanan para penumpangnya. Selain KA Bima, bulan lalu jurnalis majalah ini menggunakan KA Argo Lawu Jakarta-Solo dan menjumpai banyak penumpang tanpa karcis bergerombol di bordes dekat toilet. Maklum, karena merupakan kereta kelas atas, free rider KA Eksekutif tidak bisa seenaknya tidur membeber koran di sela kursi, layaknya menumpang KA BIsnis Senja Utama. “Pilihannya, ya duduk di bordes, atau restorasi. Di restorasi ongkos nembaknya menjadi lebih mahal karena sesekali mendapat makan juga,” kata seorang free rider kelas eksekutif.

Tak jarang ajakan untuk kompromi mengatur harga sebagai pengganti tiket datang dari awak kereta api sendiri. Seorang rekan yang menjadi free rider KA Eksekutif Gajayana jurusan Jakarta-Malang pernah bercerita, kondektur kereta itu marah saat hanya disodori lembaran seratus ribuan, dari harga tiket resmi yang mencapai 200 ribu rupiah saat akhir pekan. “Kondektur itu minta tambahan, jadi saya harus keluar duit 120 ribu rupiah,” kata pria yang enggan disebut jati diri lengkapnya itu.

Namun, tidak semua perantau ibukota yang menyandang status “PJKA” dan berpenghasilan pas-pasan memilih menjadi free rider. Ariyanto, seorang peneliti organisasi non pemerintah di Jakarta Pusat menyatakan enggan “bayar di atas” meski dirinya sering pulang balik ke Yogyakarta dan tahu persis modus operasi praktek menjadi free rider kereta. “Saya pantang melakukan itu. Masak tiap hari kerja di LSM yang cuap-cuap anti korupsi, tetapi prakteknya mendukung praktek nyogok kayak gitu,” kata Ariyanto,

Pengamat transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy, Darmaningtyas, menyatakan, praktek free rider yang kerap terjadi pada angkutan kereta jarak jauh tak bisa dipungkiri dari “hukum ekonomi”. Menurutnya, selama masih ada pertemuan antara “permintaan” dan “penawaran”, maka budaya penumpang gelap seperti ini masih akan terus terpelihara. “Dalam hal ini demand nya berasal dari para penumpang yang ingin naik KA jarak jauh dengan bayar murah, sementara supply nya disediakan oleh para petugas KA itu sendiri,” kata Darmaningtyas.

Pria yang rajin menulis di berbagai media cetak ini menyimpulkan, ada dua cara untuk mengeliminir budaya free rider ini yakni pembenahan infrastruktur dan perbaikan sistem perkeretaapian kita, termasuk di dalamnya yakni sistem pengawasan terhadap para calon penumpangnya. “Kalau aturannya dilaksanakan secara ketat seperti di Singapura misalnya, praktek penumpang gelap tidak akan terjadi,” katanya.

Darmaningtyas memaparkan, di Singapura pengawasan terhadap prara calon penumpang berlangsung sangat ketat, sehingga hanya mereka yang memiliki tiket saja yang bisa masuk ke dalam gerbong kereta api. “Sebaliknya, sistem perkeretaapian Indonesia masih membuka peluang orang masuk ke dalam gerbong kereta tanpa tiket,” tegasnya. * (sumber : Jojo Raharjo)

Tim Track