Minggu, 08 Desember 2013

sajak dalam duka

 dalam duka (I)

angin, sepi dan mimpi mimpi, adalah sahabat setia,
yang selalu siap untuk diajak bercanda dalam duka,
di kamar pengap segelap pelataran neraka.

ada jendela kecil untuk menyaksikan indahnya taman surga
tapi tak selamanya terbuka, lantaran derita yang mencekam
terkadang melumatkan kedekatanku kepada-Nya.


dalam duka (II)

rembulan senja belum mampu menampakan wajahnya yang pucat kelelahan.
langit hitam masih mengepung dari semua yang pengab.

angin yang lewat tak begitu jelas meniupkan kabar apa, kiamat bakal segera tiba,
atau mukjizat tentang kesembuhan seorang tua yang tengah tercekik kesakitan dalam kesendirianya.

semua rahasia serba rahasia. dan hanya Dia yang tahu segalanya.



Sabtu, 12 Oktober 2013

Kumpulan Catatan Mbah Ddidek

DUKA PANJANG KAUM PINGGIRAN

Lapar dirangkulnya erat-erat sepanjang perjalanan.
Dahaga menjadi kerabat setianya.
Dalam sepi belum juga ditemukan orang-orang yang peduli.
Mereka berjalan terus mengejar mimpi yang tak kunjung berhasil disalami.

Sahur dan bukapun tak hapal diotaknya yang beku oleh penderitaan.
Si buta yang mengemis di jalan-jalan,
Kaum papa yang berteduh di kolong-kolong jembatan
Dan kambing-kambing yang melacur di rel-rel kereta,

Merekalah yang sudi menyatukan diri,
Rame-rame,
Meneriakan pekik kemanusiaan
"Merdeka, atau Kami harus mati".

Kata-Kata Hikmah

17 Juli 2013 pukul 4:57
Kata-kata yang terlanjur terucap dan terasa menyakitkan,
Kesalahpahaman yang terumbar bagaikan fitnah,
Ucapan lancang yang membuahkan kepedihan,
Nasehat-nasehat yang lahir seperti menggurui,
Kegembiraan berlebihan yang melahirkan kegaduhan,
Prasangka-prasangka yang mengalir tanpa aturan,
Berbagai petingkah yang menyebalkan,
Kekhilafan-kekhilafan yang membuat suatu janji dan harapan menjadi terhalang untuk diwujudkan,
Ketidakselarasan yang tertafsir sebagai pengkhianat,
Gurauan yang terterima sebagai keglauan,
Langkah-langkah brutal yang membuat orang lain menjadi tidak nyaman,
Sikap egoisme yang belum sepenuhnya berhasil kami padamkan.
Mohon diamaafkan lahir batin pada suasana yang penuh rahmat dan ampunan ini.
Kedepan semoga tak terulang lagi.
Semua diharapkan akan menjadi lebih jernih dan kian indah.
Selamat menjalankan Ibadah Puasa.....

HIDUP BELUM BERAKHIR

17 Juli 2013 pukul 5:12
Sia-siakah sisa hidup mereka
Dengan sepenggal nafas
Dan darah yang masih mengalir
Darah merah darah putih
Menandai hayat tak pernah letih

Sepanjang jalan dari hulu kehilir
Semerbak mawar melati
Harumnya yang mereka hirup
Membuat jiwa beku menjadi cair
Memaknai hidup yang belum berakhir








Jumat, 11 Oktober 2013

Runtuhnya Gerbong Keadilan


  



 Oleh : W. Suratman *)

IBARAT - Sebuah panggung yang menyajikan pertunjukan, para penonton tentu akan semakin nyaman dan berselera ketika di-suguhkan sebuah pertunjukan yang baik. Lantas batasan pertunjukan yang baik itu sendiri tentu  sangat  tergantung pada pribadi masing-masing. Namun kita semua tentu akan sepakat, bila pertunjukan itu menyejukan, dan paling tidak ada unsur mendidik, dan memiliki pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan, termasuk moral, etika dan estetika juga ada didalamnya, tidak semata-mata menghibur begitu saja. Tentu kita tidak keberatan untuk mengacungkan jempol, pertanda menaruh tanda suka pada pertunjukan tersebut.

Begitu juga dengan Republik yang kita cintai ini, negeri bernama Indonesia, seharusnya Sang Raja dibalik istana dan para punggawa yang bertahtah di kursi kekuasaan mampu menyajikan sebuah melodrama pertunjukan yang sejuk, dan memberikan semangat kepada rakyatnya, sehingga rakyat merasa terhibur, termotivasi yang pada giliranya menjadikan pemicu semangat dalam berkarya.

Namun sayang, sampai detik-detik akhir kekuasaanya, rezim yang bertengger di kursi kekuasaan yang tinggal sejengkal, belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan bagi semua pihak, terutama bagi rakyat kecil, kalangan bawah, utamanya para petani, buruh, nelayan dan lain-lainya.

Apalagi dalam hari-hari terakhir rakyat disuguhkan sebuah drama pertunjukan yang cukup memuakan, andai saja ini benar, maka kita sebagai rakyat tidak cukup hanya mengelus dada, sembari geleng-geleng kepala. Tentu yang kita akan lakukan adalah, mengepalkan tangan, sembari bersumpah serapah. Hari ini kita menyaksikan runtuhnya kepercayaan rakyat kepada para punggawa keadilan.

Betapa tidak seorang yang memimpin lembaga hukum, yang tentu saja sangat paham akan hal ihwal tentang aturan mana yang salah dan mana yang benar, justru tertangkap basah di-duga terlibat dalam kasus suap, sampai-sampai ruang kantornya disegel, berarti ruang kantor itu kotor secara hukum. Sungguh sebuah pertunjukan yang memuakan, dan sangat menyesakan dada bagi kita semua.

Kita muak, dengan petingkah para punggawa yang berlindung dibalik baju kebesaranya, tetapi sejatinya justru mengkorup uang rakyat. Betapa pedih dan sesaknya dada kita, ketika menyaksikan realita bahwa hukum yang selama ini diagung-agungkan sebagai panglima, ternyata tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat kecil.

Runtuhnya gerbong keadilan ini, tentu  bukan sebuah kebetulan, sebagai seorang yang beragama tentu kita sangat percaya akan campur tangan Sang Pengatur Alam Semesta.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema'lumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.Ibrahim : 7). Begitulah dengan sangat gamblang tertulis dalam Kitab Suci Al Qur'an,yang harus kita yakini.

Ketika rakyat kecil seolah sedang sekarat, akibat didera oleh berbagai persoalan, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya yang begitu berat. Namun seorang punggawa institusi hukum yang begitu terhormat, dengan gajinya ratusan juta, andaikan semua ini benar, masih terlarut dalam permainan upeti dan sogok, maka ini semua tentu bukan sebuah kebetulan, Sang Pemilik Alam Semesta murka, melalui Keperkasaanya, dengan mudahnya  mencabut nikmat dan menghinakanya, dari yang semula di-panggil 'Yang Mulia menjadi Yang Tersangka.'

Sampai-sampai Sang Raja tergopoh-gopoh, dipanggilnya para punggawa kerajaan, dikumpulkan untuk mendengarkan wejangan Sang Raja di istana. Entah apa yang diwejangkan Sang Raja, hanya terdengar sayup-sayup.

Para abdi dan pelayan istanapun dibuat sibuk, tidak sepatah katapun yang terucap dari para abdi dan pelayan itu, mereka sibuk menyiapkan keperluan untuk tuanya dan para punggawa yang sedang bersidang di istana malam itu.

Dari sorot matanya yang menampakan kecemasan, para abdi dan pelayan istana tidak terucap sepatah katapun, mereka hanya mampu membatin, ‘Jangan-janga para punggawa ini pada sekongkol dan terlibat, sehingga Sang  Raja cepat-cepat memanggilnya, takut Sang Pemilik Alam Semesta, murka,’demikian batin dalam hati masing-masing para abdi dan pelayan.

Sementara, diluar istana, mulai dari kedai kopi pinggir jalan, restoran mewah, di pojok gang sempit, sampai gedung pencakar langit, rakyat riuh memperbincangkan tertangkap basahnya punggawa institusi hukum, yang disiarkan televisi,secara berulang-ulang, bak sinetron picisan.

Dan bersyukurlah, rakyat dinegeri  ini terlanjur dikenal sebagai rakyat yang ramah-tamah, memilki rasa tepo seliro, ewuh pakewuh, sehingga seburuk dan sebobrok apapun yang terjadi pada para punggawa kerajaan, hanya sebatas  riuh menjadi bahan perbincangan, di warung dan kedai kopi, lantas menguap, hilang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.  

Rakyat dibuat semakin bingung, apa sebenarnya yang sedang dimainkan oleh para elit politik, dengan scenario canggih nan rapih, mengalir  deras memenuhi ruang-ruang tamu rakyat seantero negeri melalui layar kaca media elektronik yang sangat sadis mencekoki, dan mencuci otak anak-anak negeri untuk mengikuti apa yang mereka inginkan.

Entahlan, rakyat hanya diam, membisu, apatis pada semua ini….... 

Namun jangan salah, rakyat adalah pemegang kedaulatan di republik ini, ketika melihat mereka yang bertahtah di kursi kekuasaan, sebagai pemegang amanah kedualatan rakyat, terus berfoya-foya dengan kerakusannya, bukan tidak mungkin diam dan membisunya rakyat akan menjadi energi  besar yang mampu menggerakan kekuatan baru untuk merontokan dan menarik kembali amanat yang dititipkannya.(*)

*) Penulis adalah, Anggota Persaudaraan Jurnalist Muslim Indonesia (PJMI)

Jumat, 13 September 2013

Semangat Warga Jadi Pewarta



Akhmad Rovahan tak menyangka artikelnya berbuntut panjang. Akhmad bukan wartawan. Pengajar di sebuah madrasah di Buntet, Cirebon, itu menulis karut-marut pengucuran dana pendidikan untuk tujuh sekolah di Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara Komunitas, salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi informasi, akhir tahun lalu. 

Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan Pemeriksa Keuangan mengecek langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus. Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat provinsi. "Orang pemerintah daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad. 

Kejadian itu bukan satu-satunya. Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah yang siswanya belajar secara lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah," kata Akhmad. Ada juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs media komunitas. 

Pengaruh media warga atau kadang disebut media komunitas, yang dikelola dengan prinsip jurnalisme publik (citizen journalism)-dari, oleh, dan untuk warga-memang terasa menguat. Tidak sedikit "teriakan" media-media komunitas yang bercokolan di berbagai penjuru negeri ini terdengar sampai ke Ibu Kota Jakarta. 

Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pun sampai menggelar rapat khusus tentang media komunitas pada Rabu dua pekan lalu. Pejabat bidang komunikasi kementerian tersebut membahas cara mengoptimalkan manfaat media komunitas untuk sosialisasi program pemerintah. Harapan pemerintah, sosialisasi lebih efektif dan tepat sasaran dengan menggunakan media warga ketimbang melalui media arus utama (mainstream). 
Media warga memang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Suara Komunitas, misalnya, dalam kurun tiga tahun, kontributornya mencapai 350 orang, yang tersebar di 17 wilayah se-Indonesia. Akhir Maret lalu para editor dari berbagai wilayah berkumpul di Cirebon untuk membahas pengembangan Suara Komunitas. Sejauh ini, tercatat peningkatan konten dari 673 tulisan pada 2008 menjadi 2.023 tulisan sepanjang 2010. "Bukan hanya kuantitas, kami juga mulai konsentrasi menguatkan dampak ke khalayak," kata Nasir, salah satu pengurus. 
Dari Bandung, muncul Citizen Journal akhir bulan lalu, yang dimotori oleh Urbane Community, gerakan peduli kota berbasis komunitas. Buahnya, warga pun mendadak jadi pewarta. 
M. Achsan, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Pekerjaan Umum Kota Bandung, contohnya. Selain kegiatan sekolah, kini dia rajin mengamati peristiwa di lingkungannya. Begitu ada yang menarik, kameranya pun langsung beraksi: jepret! "Saya ingin menyampaikan informasi sekitar," kata dia bersemangat. 
Wartawan komunitas lainnya melakukan peliputan sesuai dengan lokasi tinggal atau kegiatan. Hingga kini sudah 20 komunitas rukun warga sukarelawan Citizen Journal. Para pewarta itu merekam fakta yang diunggah ke Facebook, lalu semua informasi itu digabung tayang di situs www.citizenjournal-bdg.org. "Mereka cinta Bandung, ingin berpartisipasi dengan berbagi informasi," kata arsitek Ridwan Kamil, pendiri Urbane Community. 
Tiap-tiap komunitas dibekali kamera dari dana sosial perusahaan Ridwan. "Tahap awal dengan kamera, lebih fun dan relatif ringan," kata Reggy Kayong Munggaran, salah satu penggiatnya. Berita foto atau tulisan itu tayang sesuai dengan kategori yang ditetapkan. 
Situs itu memang Sunda pisan. Nama kanalnya antara lain Sindang Heula, berisi berita tentang lokasi menarik. Jawara Kampung bercerita tentang sosok-sosok lokal inspiratif. Jika ingin mengetahui keluhan warga, bisa baca di Kukulutus atau Seratan Hate. Tentu tidak semua harus serius. Ingin bergosip? Mari baca-baca Harewos Bojong. 
Semua dipersiapkan untuk menampung partisipasi lebih luas. Targetnya, total 3.000 komunitas RW di Bandung bergabung. "Nantinya tak ada lagi alasan pemerintah tidak tahu persoalan di bawah," kata Ridwan. 
Di Bali, ada Balebengong. Warga bebas mengirim tulisan opini atau reportase ke situs berita www.balebengong.net, yang berslogan "Berbagi Kabar dari Bali". Di sini pembaca dapat menikmati beragam tulisan. Dari kuliner di Bali, obyek wisata, hingga masalah sosial. 
Balebengong ada sejak pertengahan 2007, ketika blog pribadi marak. Anton Muhajir, wartawan lepas penggagas Balebengong, memodifikasi blog pribadi menjadi publik, seperti Panyingkul.com di Makassar dan Wikimo.com di Jakarta. "Namanya menunjukkan tempat orang bisa mengobrol sesuka hati," katanya. Awalnya hanya mencakup wilayah Denpasar, selanjutnya meluas ke seluruh Bali. Situs ini juga menyediakan link blog para kontributor, yang kemudian bergabung dalam komunitas Bali Blogger. 
Selain memiliki domain sendiri, kontributor Balebengong kini mencapai 160 orang. Sebagai penjaga, Anton dibantu enam orang. Jumlah pengakses rata-rata seribu orang per hari, pernah tembus hingga 6.000 ketika ada tulisan tentang Superman is Dead, nama band berpengaruh di Bali. 
Melihat potensi kunjungan itu, sejumlah pemilik produk pun berminat memasang iklan di Balebengong. Tapi sejauh ini pengelola sepakat menolak. Ada kekhawatiran para penulis berorientasi komersial. "Sejak awal maunya gotong-royong saja," kata Anton. 
Para kontributor memposisikan Balebengong sebagai media alternatif. Salah satunya Gayatri, aktivis gerakan perempuan di Bali, yang kecewa terhadap media arus utama karena tidak menerima tulisan-tulisan kritisnya, terutama soal adat setempat. Di Balebengong tulisannya mengalir tanpa sensor, dan makin meluas setelah diunggah ulang ke Facebook. 
Reaksi pembaca bukannya tak ada. Pande Nyoman Artawibawa, pegawai pemerintah daerah Badung, yang rajin mengunggah tulisan kritis, misalnya tentang kegagalan wilayah Dalung menjadi kota satelit Denpasar, sering diprotes teman-temannya dan dianggap kurang kerjaan. 
Jumlah penulis pun bertambah. Pengelola juga rutin menyelenggarakan pelatihan jurnalisme warga. Saat ini sudah mencapai tujuh angkatan, masing-masing 15-20 orang. Langkah ini sekaligus mengatasi kendala soal kemampuan menulis dan menjaga konsistensi media warga. "Kami optimistis bertahan melihat semakin banyak orang melek Internet," kata Anton. 
Teknologi Internet memacu jurnalisme warga berkembang pesat. Ini fenomena global. Salah satu tonggak penting jurnalisme warga adalah kejadian bom yang mengguncang London, 7 Juli 2005. Saat itu Tim Porter yang istrinya berada di lokasi menyiarkan tragedi itu dengan cepat melalui situs pribadinya, First Draft. Sebelumnya, dia mengumpulkan informasi dari video yang diunggah warga di lokasi kejadian. 
Wujud jurnalisme warga lain yang fenomenal adalah situs OhmyNews, yang diluncurkan pada awal 2000 di Seoul, Korea Selatan. Dari sekitar 60 ribu reporternya yang tersebar di berbagai negara, 80 persen di antaranya warga biasa yang aktif berbagi informasi. Tak mengherankan, slogannya pun mengundang: "Every Citizen is a Reporter". 
Berbekal semangat melihat gelora jurnalisme warga, baik di dalam maupun di luar negeri itu, Gunanto, pengusaha peternakan di Purbalingga, Jawa Tengah, pun merintis hal serupa setelah mundur dari profesi wartawan di Jakarta. Dia mengumpulkan anak muda setempat untuk menjadi jurnalis warga. "Banyak yang bersemangat, mungkin dorongan mendasar orang ingin bercerita," katanya. 
Buahnya, sejak Januari lalu meluncurlah media Kabare Bralink-sebutan lain kawasan Purbalingga. Semua kontributor bebas menuliskan berita apa saja. Muatan lokal disematkan dengan cara menggunakan parikan atau pantun berbahasa setempat. Satu berita yang berisi kritik keras ditutup dengan parikan yang bermakna permintaan maaf: lawuh welut segane pera, salah luput njaluk ngapura. 
Sumber : Tempo