Selasa, 10 Agustus 2010

Dalam Malam Diujung Ramadhan


Diujung Malam Dibulan Ramadhan
Ku Bersujud, Munajat Kepadamu Tuhan
Melepas Beban Dalam Kepasrahan
Tak Terasa Air Matapun Bercucuran

Dalam Malam Diujung Ramadhan
Disinari Rembulan Purnama
Berharap Dengan Sepenuh Hati
Mendapat Rahmat Dari Mu Illahi

Satu Malam Yang Lebih Baik Dari Seribu Bulan
Dalam Bulan Yang Penuh Berkah
Menjadi Bukti Kasih Sayang Sang Khaliq
Bagi Kita Hambanya, Yang Daif

            Lailatul Qadar
            Malam Penuh Ampunan
            Dengan Segala Kepasrahan
            Ku Selalu Menyambutmu


Lido Permai, September 2009
Karya : Ratman Aspari


Cerpen : Menjaga Amanat


Sejak kematian Bapak kurang lebih sepuluh tahun lalu, praktis rumah itu dibiarkan kosong tak dihuni lagi. Hal itu bukan karena aku dan ketujuh saudara kandungku tidak mau menempati rumah itu lagi, tetapi lebih dikarenakan kami masing-masing telah memiliki rumah sendiri di Jakarta sebagai kota perantauan kami. Rumah itu akan terasa hidup dan ramai ketika kami semua pulang kampung untuk suatu keperluan atau ketika Lebaran tiba, itupun kalau diantara kami kebetulan mudik semuanya, kenangan-kenangan ketika kami masih kecil nampak begitu jelas disana.
Sepuluh tahun lalu ketika Bapak kami meninggal, beberapa hari menjelang wafatnya, ada sebuah pesan dan amanat agar rumah itu jangan sampai dijual.  
“Apapun alasanya jangan sampai rumah ini dijual, ini adalah milik kita, saksi sejarah perjalanan hidup kita.,” itulah ucapan Bapak yang terbata-bata dalam kondisi sakit beberapa hari menjelang kematiannya, ditengah kerumunan anak-anaknya, famili dan para tetangga yang kebetulan berdatangan.
 Sementara ibu kami telah meninggal terlebih dahulu dibandingkan Bapak, yaitu ketika aku masih duduk di kelas dua SLTA. Sebagai anak bungsu aku banyak mendapat perhatian dari Bapak, bahkan ketika aku masih sekolah, Bapak sering mengingatkan kepadaku dengan berbagai petuah yang sarat makna dan suri tauladan, tutur katanya begitu lembut dan membuat haru setiap yang mendengarnya.
Sebagaimana kebanyakan anak-anak dikampung halamanku, setelah lulus SLTA aku ikut kakaku yang telah berhasil di Jakarta, merantau. Aku berhasil melanjutkan kuliahku dengan biaya sendiri dan bisa bekerja sebagai PNS disalah satu instansi pemerintah, itupun hasil jerih payah sendiri, tanpa menyuap dan mengadalkan koneksi dari saudara maupun relasi.

***
Sebuah bangunan yang memiliki ciri khas budaya Jawa Tengah yaitu Rumah Joglo terletak di perkampungan dimana kami dilahirkan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang begitu damai. Bangunan itu masih tetap berdiri kokoh, halamannya luas terlihat bersih dengan hamparan pasir halusnya. Pohon-pohon rindang disebelah kiri dan kanan serta bagian belakang rumah seolah menambah asri, dan sejuk dipandang mata, sementara kicau burung dan semilir angin seolah turut menyapa kepada siapa saja yang kebetulan singgah dirumah itu. Aura kedamaian seolah terasa benar disana, jauh dari hingar bingar dan kebisingan seperti yang aku alami dalam aktivitas keseharianku di kota metropolitan, penat dan menyesakan.
Dibalik ketegaran dan kewibawaaan yang terpancar dari rumah tua itu banyak menyimpan kenangan bagiku dengan tujuh saudaraku. Pada mulanya rumah kami  hanyalah sebuah bangunan yang sangat sederhana. Dengan jerih payah Bapak akhirnya rumah itu bisa diperbaiki sebagai sebuah bangunan berbentuk Joglo yang cukup representatif pada masa itu.
 Masa-masa kecil bagi kami merupakan masa yang penuh keprihatinan, walau begitu kehidupan keluarga kami masih tergolong lumayan dibanding keluarga yang lain. Profesi Bapak sebagai seorang guru Sekolah Dasar kala itu, masih cukup lumayan dibanding beberapa teman kami yang orang tuannya sebagai buruh tani.
Perubahan kampung kami semakin hari semakin terasa akhir-akhir ini, seolah mengikuti arus modernisasi, apalagi setelah banyak diantara anak-anak sebaya kami yang juga merantau dan mencari kerja ke daerah lain, ke kota besar, bahkan tidak sedikit yang ke luar negeri sebagai TKI/TKW. Hasil mereka merantau banyak dikirim kepada orang tuanya untuk membangun rumah, kini di kampung kami hampir tidak lagi terlihat rumah yang kumuh, terbuat dari gedek dan beratap rumbia.
Walaupun masih ada, itupun sekedar mempertahankan nilai-nilai budaya sebagai rumah adat Jawa yang berbentuk Joglo, seperti rumah kami. Rumah mereka rata-rata dibangun permanen dengan beraneka model yang tidak kalah indahnya dengan rumah-rumah real eastet di kota metropolitan, apakah ini pertanda kemakmuran, atau sekedar gengsi warga perantauan, entahlah, yang jelas perubahan telah terjadi dikampung kami.

***
Sebagai seorang guru Sekolah Dasar Bapak begitu dihormati di kampungnya, dalam setiap acara dan pertemuan apapun Bapak selalu mendapat tempat terhormat diantara tamu-tamu lainnya, paling tidak mendapat keistimewaan untuk duduk dibarisan bangku paling depan, sejajar dengan pejabat tingkat desa dan kecamatan. Dan dimanapun Bapak berada setiap orang yang bertemu akan memanggilnya dengan sebutan ‘Pak Guru’. Bagi kami sebutan tersebut merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan yang tulus dari warga mayarakat desa atas profesi Bapak yang begitu luhur. Hal tersebut jarang sekali aku temukan dalam strata masyarakat kota metropolitan yang nota bene mengaku modern dan intelek, namun kurang bisa menghargai sebuah prestasi, betapa pretasi tersebut begitu luhur.
Sementara ibu merupakan sosok wanita Jawa yang lemah lembut dan begitu sabar mengurus kedelapan anak-anaknya. Tidak ada sedikitpun keluh kesah dalam diri seorang ibuku, walaupun pada waktu kami masih kecil kondisi ekonomi kami bisa dikatakan hanya pas-pasan ibu tetap sabar dan tidak banyak menuntut kepada Bapak, seolah ibu mengerti betul bahwa materi bukanlah satu-satunya faktor utama untuk sebuah kebahagiaan.
Hal itulah yang membuat sosok Bapak sebagai seorang PNS, pegawai kecil dikampung, dikenal sebagai sosok yang jujur dan taat, walaupun serba kekurangan, tak ada selintaspun dalam pikiran Bapak untuk berbuat curang atau korupsi. Atas keuletan dan ketekunannya itulah karier Bapak bisa mencapai kedudukan sebagai Kepala Sekolah, itupun diraih karena didasarkan pada prestasi dan pengabdiannya, bukan dengan manipulasi dan menyuap, seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang modern di kota metropolitan ini.
Sementara Ibuku begitu telatenya mendampingi kami, banyak petuah dan nasehat yang begitu bermanfaat ketika kami telah dewasa dan kini tinggal di kota metropolitan yang dikenal garang dan angker. Bagaimana ibu mewanti-wanti kami agar mengerti tentang tata susila, sopan santun dan kejujuran yang kini sudah mulai pudar dan dilalaikan banyak orang. Ternyata wejangan dan petuah-petuah ibuku tidak pernah lekang ditelan zaman, walaupun ibu sendiri telah berpulang kealam baka.

***
Tidak terasa linangan air mata dan bulir-bulir bening menetes dari pelupuk mata kami masing-masing. Setelah selesai berdo’a bersama ketika kami semua pulang kampung dan berkumpul dalam rangka mudik Lebaran tahun ini, kami semua telah sepakat untuk berkumpul, berlebaran di-kampung halaman, dirumah tua peninggalan kedua orang tuaku.
Kami semua merasa terharu, seolah-olah dari kejauhan kedua orang tua kami, Bapak dan Ibu dari alam baka menyaksinkan betapa anak-anaknya masih masih begitu kokoh dan setia dalam menjaga amanat dan petuah yang  pernah diucapkannya dirumah tua yang ditinggalkanya.
Rumah tua itu benar-benar menjadi saksi sejarah yang tak pernah terputus, walupun telah lama ditinggal oleh sang pemiliknya. Sementara dari balik tirai pembaringanya dialam baka sana kedua orang tua itupun tersenyum bangga, karena anak-anaknya masih tetap sebagai sosok anak desa yang lugu, anak kampung yang tak  tercemar oleh polusi debu-debu kehidupan metropolitan yang sombong dan angkuh.
 Diluar terdengar gemerisik dedaunan saling berdansa ria, diiringi semilir angin yang melantunkan melodi nan indah. Samar-samar bayangan Bapak dan Ibuku dengan pakaian putih bersih saling bergandengan mesra, seraya melambaikan tangan sembari tersenyum kepada kami anak-anak dan cucunya dengan perasaan yang gembira, riang dan penuh keceriaan, pertanda amanatnya untuk menjaga rumah tua itu, telah dipenuhinya. *
Oleh : Ratman Aspari

Lido Permai, Juli 2009

Tahajud


Malam Semakin Hening
Bunyi Jangkrik, Begitu Mengusik
Mendendangkan Syair Lagu Nan Asyik
Gemerisik Angin Malam, Membelai Dedaunan

            Di Ujung Sepertiga Malam
            Ku Tunaikan Kiyamul Lail
            Ku Sanjung Asma-Mu Yang Agung
            Bergetar Bibir Kumandangkan Dzikir

Sunyi Malam Semakin Senyap
Hening, Khusu dan Syahdu
Semilir Angin Malam Mengusap Kulitku
Lantunan Dzikir Semakin Syahdu

            Kepasrahan Yang Tak Terlukiskan
            Semuanya Tunduk memuji-Mu
            Semuanya Menyatu
            Dalam Jiwa Yang Bersih.

Lido Permai, 30 Nopember 2009
Karya : Ratman Aspari

Cerpen : Cita-Cita Anaku


Setiap ditanya tentang cita-citanya, Upik anakku satu-satunya hanya menggelengkan kepalanya, entah apa maksudnya. Sebagai orang tua tentu saja Aku dan Istriku cukup galau dengan kondisi seperti ini. Normalnya anak seusianya tentu dengan lantangnya ketika dihujani pertanyaan tentang cita-citanya.
“Mau jadi apa kalau besar nanti, Nak….?” 
Ada yang menjawab, “Mau Jadi Dokter”,
“Mau Jadi Guru”,
“Mau Jadi Pilot”,
Dan ada juga yang mau “Jadi Gubernur”
Dan lain sebagainya.
            Macam-macam jawabannya, tentu saja sebagai orang tua kita akan merasa senang dan bangga. Paling tidak itu bisa menjadi motivasi bagi mereka kelak, untuk bisa meraih impiannya, begitulah pikiran kita sebagai orang tua.
            Namun tidaklah demikian dengan Upik, apakah ia tidak memiliki cita-cita dan harapan untuk masa depannya, apa ia tidak memiliki semangat, ambisi dan impian-impin luhur tentang masa depannya. Padahal untuk ukuran anak usia empat setengah tahun tentu sedang lucu-lucunya ketika ditanya tentang keinginan dan cita-citanya sebagaimana anak-anak sebayanya.
            Kondisi anakku yang kurang bersemangat untuk menyampaikan cita-citanya tersebut, terus terang cukup meresahkan keluarga kami. Bahkan Istriku berkali-kali menyarankan agar anaku dibawa ke-orang pinter atau ke psikolog untuk sekedar konsultasi, jangan-jangan ada yang kurang beres padanya. Namun sejauh ini aku tidak pernah memenuhi permintaan Istriku tersebut. Apalagi membawahnya ke orang pinter, dukun, klenik atau sejenisnya, itu semua bagiku tidak pas dengan syariat yang aku pegang teguh.
            “Persoalan anaku, sebenarnya bukan persoalan yang begitu serius, mungkin saja Upik belum punya pandangan atau gambaran apa sih cita-citanya kelak, atau hanya malas saja  untuk menjawabnya,” itu alasanku.
            Dengan adanya perbedaan pandangan antara Aku dan Istriku tentang keberadaan Upik, rupanya menimbulkan persoalan yang sedikit rumit diantara kami berdua. Bahkan akhir-akhir ini Istriku sering uring-uringan, tanpa sebab yang jelas.  
             Pada mulanya aku menganggap persoalan Upik, hanya persoalan sepele untuk anak-anak seusianya, namun ternyata terus menggelinding menjadi persoalan yang cukup serius, dengan puncak kemarahan Istriku yang luar biasa.
            “Aku hanya ingin anaku memiliki cita-cita, punya harapan yang luhur untuk masa depannya” ucap istriku, lirih.
            Setelah berbagai upaya dilakukan, ternyata Upik tetap bungkam tak sepatah katapun yang keluar ketika ditanya tentang cita-cita dan harapannya dimasa depan. Akupun mulai gundah gulana, sementara Istriku lebih sering melamun, entah apa yang dipikirkannya, dalam keseharianya menjalankan aktifitas kami merasa tak bersemangat, seolah ada yang aneh. Ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini.
Cita-cita dan harapan yang luhur seharusnya dimiliki oleh setiap orang, termasuk oleh anaku dan generasi bangsa ini, dengan lebih bersemangat untuk meraihnya, mewujudkannya melalui keratifitas dan karya-karyanya yang terukir indah, sehingga akan dikenang sepanjang masa dalam kehidupannya.
Diam-diam, Aku sendiri juga sering termenung, melamun tidak ubahnya dengan Isriku. Dalam hati kecilku sebenarnya ada rasa cemas dengan kondisi Anaku yang seolah-olah tidak mempunyai cita-cita dan harapan.
 
* * *

             Hari berganti hari, minggu berganti minggu, persoalan cita-cita anaku seolah lenyap ditelan kesibukan dan aktifitas keseharian, Aku dan Istriku tidak lagi mempersoalkannya, semua berjalan apa adanya, seolah tak pernah ada persoalan yang serius, hilang, lenyap begitu saja.
            Hari Sabtu kami sekeluarga diundang oleh kerabat yang tinggal di Cakung, Jakarta Timur untuk suatu acara pesta perkawinan. Dari Cigombong, Bogor  menggunakan bus antar kota jurusan Sukabumi – Pulogadung kami sekeluarga berangkat, pagi yang cerah, perjalanan yang belum terusik oleh kemacetan terasa begitu nyaman.
            Seperti biasa bus keluar dari jalur tol, turun di sekitar perempatan Cempaka Putih. Kata orang daerah ini terkenal rawan, menjadi pangkalan bagi anak jalanan dari berbagi usia, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua berkompetisi untuk sekedar mencari rejeki disini. Macam-macam aktifitas mereka, ada yang menjajakan berbagai dagangan, sekedar membersihkan kaca mobil dengan kemoceng, mengamen dengan berbagai alat musik, bahkan yang tidak memiliki alat musikpun bisa sembari tepuk tangan saja, sering pula terjadi kekerasan, kejahatan disekitar sini.
Yang paling menyesakan dada, menyaksikan realita kehidupan diperempatan Cempaka Putih ini adalah anak-anak dibawah umur yang ikut bergelut mencari rejeki disini, mereka anak-anak lugu yang belum tahu apa-apa, tetapi harus bergelut untuk mendapatkan rupiah yang tidak sebanding dengan resiko yang ditanggungnya.
Kehidupan disini begitu keras, dengan dalih kemiskinan, sulitnya lapangan kerja mereka tega mengekploitasi anak-anak yang masih dibawah umur, yang belum memiliki dosa, anak-anak lugu dan lucu, generasi bangsa yang malang, semuanya memang serba dilematis.
Seorang anak perempuan, usianya kira-kira sebaya dengan Upik anaku, pakaiannya kumal, sembari menenteng kaleng kecil yang entah diisi dengan apa, yang jelas baginya bisa dijadikan sekedar alat musik yang bisa untuk mengiringinya menyanyi. Lagu yang dinyanyikannya terasa sumbang, para penumpangpun terlihat enggan untuk mendengarnya, lantas disambung dengan sebait pusisi yang cukup menyentuh. Puisi itu berjudul ‘Cita-Citaku’
Dalam puisinya anak perempuan pengamen kumal itu, ia menyebutkan, bahwa dirinya tidak pantas menyebutkan cita-citanya, tidak pantas anak seperti dirinya memiliki harapan-harapan, bahkan untuk sekedar bermimpi saja rasanya hampa, tak pernah ia mendapatkan mimpi-mimpi indah tentang kehidupan yang nyaman dinegeri yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini.
Puisi anak perempuan pengamen kumal itu, benar-benar menyentuh, tak terasa seolah membuka mata hatiku, Istriku yang duduk disampingku beberapa kali menyapu air matanya dengan sapu tangan merah jambu yang selalu digenggamnya, sementara Upik anaku terus menatap pengamen itu, tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Perjalanan sampai terminal Pulogadung hanya tinggal beberapa kilometer lagi, namun perjalanan tersendat akibat padatnya arus lalulintas, tidak sedikit angkutan kota yang seenaknya saja ngetem, menurunkan penumpang dan memutar sembarangan, hal itu terjadi begitu saja, tanpa ada yang merasa bersalah untuk melanggar aturan, apalagi merasa berdosa dihadapan Sang Khaliq.  Sehingga semuanya menjadi begitu lambat, hawa panas mulai mengusik.  Sementara kami bertiga masih tetap membisu, bungkam, meresapi sebait puisi pengamen perempuan kecil yang telah turun entah kemana.
Seolah apa yang selama ini menjadi problem pada keluarga kami, terutama pada Upik anakku yang enggan menjawab cita-citanya, semuanya terjawab sudah. Dalam hati kecil Aku bertanya-tanya, apa jati diri bangsa ini sudah begitu rapuh, generasi yang malang seperti anaku, dan teman-teman sebayanya, tak mampu lagi menorehkan cita-citanya yang luhur. Tiba-tiba Istriku menyandarkan kepalanya kebahuku, sembari tersenyum, entah apa yang ada dalam senyumanya. (*)
Karya : Ratman Aspari
Lido Permai, Juli 2009

Jiwa Yang Lalai


Takbir Berkumandang
Bedug Bertalu-Talu
Semua Hamba Bersuka Cita
Menyambut Hari Kemenangan

            Allhou Akbar, Allohu Akbar
            Segenap Jiwa Yang Lalai .......
            Sibuk dengan Kesombongan Dirinya
            Tak Lagi Peduli Dengan Hari Kemenangan

Segenap Jiwa Yang Lalai ........
Terus Membuncar Dengan Seonggok Kemungkaran
Hari Kemenganan, Tak Ubahnya Jadi Tradisi Semata
Kata Maaf Sebatas Bibir, Tak Merasuk Dalam Kalbu

            Wahai Segenap Jiwa Yang Lalai ......
            Sampai Kapan Engkau Umbar Nafsu Angkaramu
            Tak Sayangkah Engkau Pada Jiwamu
            Hingga Rohmu Hitam, Busuk Aromanya

Matahari Sore Mulai Terbenam,
Pertanda Hari kan Malam
Wahai Sgenap Jiwa Yang Lalai .........
Tiada Mahluk Yang Kekal Didunia Fana Ini

Lido Permai, September 2009
Karya : Ratman Aspari

Negeri Dirundung Bencana


Duh, Gusti Yang Maha Agung
Hamba Mohon Beribu Ampunan-Mu
Karma Apa Yang Engkau Timpakan Pada Negeri Kami
Hingga Bocah-Bocah Tak Berdosa Jadi Korban

         Duh Gusti Yang Maha Agung
         Ujian Dan Derita Terus Menerpa Negeri Kami
         Tsunami, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir, Kabut Asap
         Tiadakah Belas Kasihan Barang Sejenak Bagi Kami 

Sebagai Rakyat Yang Papa
Kami Hanya Bisa Memohon Ampunan-Mu Ya Rab.
Sebagai Rakyat Yang Papa
Kami Tak Punya Kekuatan, Untuk Menolak Semua Bala

         Kami Hanya Pasrah
         Mengharap Ridho dan Kasih Sayang-Mu
         Kiranya Semua Ini Bentuk Kasih Sayang-Mu
         Hamba Hanya Pasrah, Dalam Relung Kasih Sayang-Mu.

Ya, Rab, Semoga Semua Ini,
Pertanda Kasih Sayang-Mu
Kami Sadar, Terlalu Banyak Dosa
Pada Diri Hamba, Selama Ini.

Lido Permai, Nopember 2009
Karya : Ratman Aspari

Film Berbagai Suami Realita Kehidupan Poligami di Sekitar Kita


KALAU – Kita mengikuti perkembangan film nasional pada tahun 2006 lalu, beredar film yang mengangkat seputar kehidupan Poligami yang berjudul ‘Berbagai Suami’. Adalah sosok Nia Dinata, sutradara muda yang mencoba mengangkat persoalan poligami ke layar lebar.
            Dalam pandangan sutradara muda ini, tradisi poligami sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Wacana beristri lebih dari satu ini selalu diikuti pro dan kontra, ada yang menentang, tidak sedikit pula yang mendukungnya.
Film itu berkisah tentang kehidupan tiga orang perempuan yang harus rela dimadu. Tiga perempuan berasal dari tiga kelas sosial, ekonomi dan suku yang berbeda membuka tabir tentang poligami mereka.
Alur ceritanya begitu menarik, menghibur dan sarat dengan berbagai pesan yang hendak disampaikanya, paling tidak ada pelajaran untuk lebih memahami kehidupan keluarga yang berpoligami, sebelum kita sendiri memutuskannya untuk berpoligami. Paling tidak dalam film ‘Berbagai Suami’ tidak sekedar berkutat pada nafsu dan harta semata sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para penentang Poligami, namun disana ada cinta, keikhlasan dan persahabatan.
Poligami atau beristri lebih dari satu, sebagaimana dipaparkan dalam film ‘Berbagai Suami’ memang bukan perilaku orang berada saja seperti Haji Ali Imron (El Manik). Pak Lik (Lukman Sardi), seorang sopir sebuah rumah produksi atau Koh Abun (Tio Pakusudewo), koki yang juga pemilik restoran bebek goreng pun bisa berpoligami.
Ada beragam alasan yang membuat mereka memilih berpoligami. Haji Imron, misalnya, punya alasan tersendiri untuk menikah lagi, dengan asalan menghindari zina, yang dilarang agama. Apalagi dalam ajaran Islam, memang tidak melarang orang seorang suami beristri lebih dari satu, asalkan mampu berlaku adil katanya. Salma (Jajang C.Noer), dokter kandungan berdarah Betawi, istri Haji Imron, awalnya memang tidak sudi di madu. Salma awalnya berang. Tapi, Pak Haji selalu punya kalimat pamungkas. “Cuma ngindarin zina,” tuturnya.
Perempuan itu lama-kelamaan akhirnya bisa berdamai dengan sikap suaminya itu. Pilihan yang sulit, tapi harus diterimannya. “Ini sudah takdir,” pikir Salma. Ya, Salma pada akhirnya merelakan membagi suaminya dengan perempuan lainnya, Indri (Nungki Kusumastuti). Namun, Nadin (Winky Wirawan), anak semata wayangnya, justru bisa memberinya kekuatan untuk bertahan. Menjadi adil memang terasa gampang dibayangkan, tapi ternyata susah dilakukan.
Poligami, awalnya memang indah, tapi orang sehebat Haji Imron pun dibuat tak berdaya. Seadil-adilnya, Haji Imron tetaplah tak adil bagi istri-istrinya. Selalu ada perasaan diduakan dan rasa iri yang berkecamuk di hati para istrinya. Tapi, Haji Imron, meski dianggap ‘tidak adil’ oleh kedua istrinya, toh masih merasa perlu punya istri lagi.
Satu istri mudanya lagi-lagi muncul, justru ketika Pak Haji harus di rawat di Rumah Sakit lantaran terserang stroke. Kini tiga perempuan dinikahinya. Pada akhirnya, persaingan pun tak terhindarkan. Masing-masing merasa paling memiliki. Digambarkan bagaimana lucunya melihat ketiga istri berebut memperhatikan suaminya.
Inilah satu dari tiga kisah yang dihadirkan Nia dalam film ‘Berbagai Suami’ yang disutradarainya. Dalam babak kedua, lalu beralih kepada Siti (Shanty), gadis Jawa yang mencoba peruntungan ke Jakarta. Adalah Pak Lik (Lukman Sardi), yang mengajaknya ke Jakarta. Di rumahnyalah ia bakal menetap bersama dua istri, Dwi (Rieke Dyah Pitaloka) dan Sri (Ria Irawan).
Sial, niat bekerja di Jakarta, eh Siti malah dinikahi Pak Lik. Lain istri-istri terdahulu Pak Lik. Tak ada cekcok di antara mereka. Malah saling dukung di antara ketigannya. Mereka hidup akur meski harus tinggal berdesak-desakan di satu rumah.
Nia memang boleh jadi amat berhasil memotret fenomena yang ada di sekeliling kita. Tidak hanya mampu membuat cerita yang menarik, tetapi plot cerita pun terjaga. Meski film itu punya tiga bagian dengan cerita yang berbeda, tetapi keterkaitan antara ketiganya memang terasa begitu mulus. Tak terkecuali di bagian ketiga, Ira Maya Sopha yang tampil memerankan karakter Cik Linda, istri Koh Abun, yang jutek dan dominan pada suaminya.
Sederhana, namun bermakna, itulah yang hendak disampaikan dalam “Berbagai Suami’. Nia seolah ingin mendobrak tabu tentang Poligami, dan membuka pikiran masyarakat tentang pembagian cita dalam perkawinan. Bahwa baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing punya pilihan dalam hidup, semua harus siap dengan konseskuensi dan tantangannya. Paling tidak di zaman sekarang, kita sendiri yang memilih jodoh dan pasangan hidupnya, sekalipun harus ‘Berbagi Suami’.

Opini : Mahluk itu Bernama Korupsi


Meski negeri ini dihuni oleh masyarakat yang cukup agamis, berbagai penelitian internasional, antara lain dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) dan Transparancy International (TI) telah menetapkan, Indonesia termasuk sebagai Negara terkorup di dunia.
            Dihadang oleh berbagai institusi pengawasan dan gertakan undang-undang maupun badan pengawasan serta acaman pembasmian, seperti, UU RI Nomor 20/2001, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikenal sebagai lembaga yang agung (supreme audit), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang konon amat “galak”, berbagai inspektorat sampai Bawasda, belum lagi DPR/DPRD. Di era tahun 1970-an, sudah ada Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara.Sampai kini ada kementerian khusus yang mengurusi penertiban aparatur Negara (Men-PAN) dan macam-macam badan ataupun lembaga pengawasan lainnya.
            Meski demikian, korupsi tetap berjalan dengan langkah leha-leha, santai dan aman. Barangkali lantaran korupsi termasuk virus social yang sepantar tuannya dengan profesi pelacur atau portitusi, penyakit ini sulit disembuhkan. Sikap masyarakat yang terlanjur kecipratan pengaruh budaya feodal dan sistem masyarakat kapitalistik yang lebih menghargai kekayaan ketimbang kejujuran ataupun kesederhanaan,membuat gerak korupsi kian subur. Padahal kejujuran dan kesederhanaan merupakan upaya paling praktis untuk tidak berbuat korupsi. Intinya, kembali kepada faktor manusiannya, bukan aturannya. Nyaris tak ada manfaatnya kita membuat berbagai aturan, jika faktor moralitas aparat tidak bisa diandalkan.
            Pemelotan tindak korupsi sebenarnya telah berlangsung sejak dulu kala. Tahun 1930an misalnya, telah ditemukan dokumen akutansi The Exchequers of England and Scotland, jauh sebelum Perancis dan Italia mengadakan kegiatan audit dan pengawasan di abad 13 bagi para pejabat publik. Di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai pemerintahan Bung Karno juga sudah ada langkah-langkah prefensi secara hukum.
            Pada awal pemerintahannya, SBY telah mencanangkan Gerakan Aksi Nasional Anti Korupsi bersamaan dengan Hari Anti Korupsi Internasional yang ditetapkan oleh PBB. Tak tanggung – tanggung, pada tanggal 09 September 2004 muncul Inspres Nomor /2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk kongkrit pemerintah dalam memberangus tindak terkutuk itu.
            Di kalangan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah lahir Kepmendiknas Nomor : 030/0/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional serta Kepmendiknas No.097/U/2002 tentang Pedoman Pengawasan Pendidikan, Pembinaan Pemuda dan Pembinaan Olahraga. Lalu, disusul dengan Kepmendiknas No.027/P/2005 tentang Pembentukan Tim Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang diketuai oleh Inspektur Jenderal Depdiknas. Mendiknas sendiri bertindak sebagai penangung jawab.
            Berbagai modal untuk memberantas korupsi di lingkungan pendidikan sudah amat cukup sebagai modal action. Hasilnya ?, belum maksimal, semua nyaris tak mempan. Berbagai kasus BOS dan DAK muncuk disana-sini. Terlalu banyak pejabat pendidikan diciduk dan dimasukan bui, gara-gara tergoda anggaran yang menggiurkan.
            Amat tragis, dulu dikeluhkan minimnya anggaran hingga tantangan utama untuk memajukan pendidikan selalu menghadang. Kini anggaran pendidikan sudah dicanangkan mencapai 20 persen dari seluruh RAPBN 2009. Bayangkan, angka setelah revisi saja menyebutkan, besaran anggaran itu mencapai Rp.207,1 triliun. Wow.!
            Pencipta sistem Network TwentyOne, Jim Dorman, dan pakar kepemimpinan serta motivasi, Ohan C.Maxwell, pernah “menyindir” kita ketika melihat terlalu banyak UU, aturan dan institusi pengawasan/audit. Menurut mereka, berbagai perangkat itu tak lebih hanya bersifat visioner, padahal yang dibutuhkan adalah praktik dari bangunan impian itu.
           Jadi, terasa percuma saja kita terus – menerus membangun mimpi, jika pada kenyataannya korupsi tetap subur, Indonesia terus “menjaya” dan mendominasi peringkat tertinggi dalam urusan menggarong uang rakyat.
Lebih baik menempuh jalan praktis saja, kembali ke masalah pembangunan manusia seutuhnya, termasuk moralitas. Lebih murah dan praktis..!!
Oleh : W.Suratman
*) Penulis Adalah Seorang Jurnalist.

Budaya Lokal dalam Sastra di Mata Cerpenis


Dongeng telah memukau kita sejak anak-anak hingga masa tua, seperti pitutur akan Kancil Mencuri Timun, Sangkuriang, Bawang Putih Bawang Merah atau Timun Emas. Lewat narasi-narasi lisan itu kita memasuki jagat petualangan yang indah.
            Bagaimana dongeng masa kini ? Kita tak hanya makin kehilangan dongeng tapi juga teater tradisi, upacara adat, berbagai pitutur atau cerita lisan di tengah makin menguatnya pragmatisme. Kemajuan jaman makin mendorong kita hanya peduli pada kebutuhan jangka pendek, menjebak dalam pusarannya. Kita juga makin sulit untuk membedakan antara nilai dan hal-hal yang artifisial, tidak hirau denga budaya lokal, bahkan ada yang melihatnya sebagai hal kuno, ketinggalan jaman.
            Meski demikian, di banyak daerah geliat untuk menjaga budaya lokal itu tetap ada baik lewat kepedulian individu atau komunitas meski tak sesemarak dan gemerlap budaya lain yang masuk kategori meoderen. Ini merupakan angin segar.
            Seperti itu juga yang ada dalam sebuah kumpulan cerita pendek dari 11 penulis berjudul ‘Kolecer dan Hari Raya Hantu” berisikan 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Para cerpenis yang terdiri dari berbagai usia serta pengalaman ini mengangkat bermacam tradisi yang ada di daerah asal mereka. Warna-warna lokal dalam tradisi setempat dijadikan kisah-kisah yang menarik dalam kemasan dunia kata yang apik.
            Pengamat sastra ternama Maman S.Mahayana menuliskan pendapatnya dalam buku ini, “Inilah kisah-kisah eksotisme Nusantara, sangat ‘Indonesia’. Warna lokal yang khas dengan segala keunikannya, tidak seksedar mewartakan protes sosial dalam narasi yang memuakau, lalu berkelindan dalam representasi kultur etnik, tapi juga menjelma lanskap keindonesiaan.”
            “Sebuah keberagaman budaya yang penuh warna-warni, heterogen, dan sekaligus unik, eksotik. Panorama itu laksana berada di antara garis tipis fakta-mitos yang bagi masyarakat Barat, kerap dituding sebagai irasional, tahyul, dan ditempatkan dalam wilayah supernatural.
            Inilah antologi cerpen yang benar-benar Indonesia. Itulah pintu masuk untuk memahami keindonesiaan yang multikultur. Di situlah bersemayam ruh antalogi cerpen ini”, ujar Maman S Mahayana, dosen tamu Hankuk University of Ferign Studies, Seoul, Korea Selatan. Pengantar buku ini diberikan oleh Free Hearty, pengamat budaya dan juga dosen Universitas Al-Azhar Jakarta. * (ratman aspari)

Opini : Spiritualitas Perjalanan Berpolitik


MEMILIKI – Kesadaran spiritual membuat kita menjadi sangat kreatif dalam batasan untuk memainkan ‘permainan tanpa batas’, serta karakter positif. Tak akan ada kedustaan, intimidasi, saling menghina, mencaci dan pengucapan janji yang berlebihan, yang sangat rawan untuk diingkari.
            Saya memaknai spiritualitas sebagai ikatan yang transenden atau adanya unsur ke –Illahiah-an dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan. Spiritualitas merupakan inside power, kekuatan yang bersumber dari dalam diri karena keyakinan yang kuat dari sang pemilik kekuatan. Bukan justru dianggap mengebiri potensi manusia sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang. Terutama para kawan yang bergelut di politik.
            Jika kita menganalisis berita lokal hingga global, penyebab kehancuran karier politik didominasi kasus kehancuran moral dan mental spiritual. Korupsi, berbagai bentuk skandal, kecurangan, kebohongan, hingga kekejian, politik uang dalam berbagai bentuk manifestasi dan yang bisa dinilai dengan uang, politisasi potensi pada ranah-ranah non politik dan berbagai bentuk lain yang merupakan linieritas dari politik dan kekuasaan. Lebih dramatis lagi ketika berbagai upaya legitimitasi yuridis formal dilakukan untuk ‘menghalalkan’ berbagai tindakan tersebut seperti halnya undang-undang yang justru memberi peluang bagi para politisi oportunis untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
            Peran lawan politik, masyarakat atau institusi apapun dalam membongkar kebobrokan moral bukanlah suatu sebab yang dapat disalahkan atau dibenarkan. Mesikpun tidak dapat dipungkiri adanya latar belakang yang sarat kepentingan dalam setiap upaya ‘pelurusan’ atas nama penegakan hukum. Toh kenyataannya, masih banyak sekali kasus-kasus dalam proses hukum yang belum tuntas sedangkan prosesnya telah menyita banyak waktu, energi dan beberapa sumber daya.
            Saat ini saja, kita juga semakin disesakan pada realita yang menjauhkan masyarakat dari kedewasaan politik. Setiap mendekati dilaksanakannya pesta demokrasi, justru semakin sering kita disuguhi realitas kasus saling sikut, saling menjatuhkan, menggilas,bahkan membantai tanpa ada kepedulian meski dengan saudara sekubu. Dari tindakan pelanggaran ringan sampai kriminalitas sudah merupakan kewajaran dan cukup fenomenal. Visi dan Misi institusi politik justru menjadi satu hal yang absurd setelah kepentingan individu-individu di dalamnya yang secara vokal menyatakan memiliki loyalitas, dedikasi dan komitmen untuk partai. Partai pun kini menjadi nomor dua, apalagi rakyat yang akan menduduki nomor ke sekian. Jalan seperti ini yang diyakini benar dan dapat menghantarkan mereka ke kursi terhormat yang makin menjadi impian.

Penempelan Stigma
            Dan bukan suatu yang salah total jika pada akhirnya stigma menempel di diri sebagian besar pelaku politik di negeri ini, meskipun tidak dapat dipungkiri, bagaimana politik dan dinamikannya dibangun memberikan konstribusi besar dari perwjajahan politik yang dibawanya.
            Kebenaran yang dianut dan tanpa dasar kecuali sebatas impian dan kepentingan individu sudah bisa dipastikan ibarat menyiapkan terbukanya pintu kehancuran. Kesadaran ini tidak akan pernah sampai pada diri seseorang hingga kehancuran itu datang tanpa bisa dipastikan kapan waktunya.
            Setebal dan setipis apakah kesadaran spiritualitas ini pada setiap pelaku politik kita saat ini, jika pada kenyatannya seperti itu. Sebenarnya memiliki kesadaran spiritual membuat kita menjadi sangat kreatif dalam batasan untuk memainkan ‘permainan tanpa batas’ (meminjam istilah Aria Dinata), serta karakter positif. Tidak akan ada kedustaan, intimidasi, saling menghina dan mencaci, serta mengucapkan janji yang berlebihan yang sangat rawan untuk diingkari.
            Kesadaran ini akan menjadikan hati kita menjadi sangat tajam dan memegang teguh moralitas, sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk membaca berbagai fenomena sosial yang terus bergulir ditengah masyarakat, dan kemudian menyikapinya dalam tindakan yang tidak membodohi dan merugikan rakyat. Karena rakyat hanya membutuhkan pemimpin dan wakil yang sangat mengerti kebutuhan-kebutuhan mereka serta memiliki komitmen yang tinggi pada mereka.
Oleh : W.Suratman
*) Penulis adalah seorang Jurnalist.

Stop Kekerasan Terhadap Anak


Dalam Islam, anak merupakan amanah dari Allah SWT. Ia adalah titipan yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Menyia-nyiakannya berarti ingkar terhadap amanah. Sebab Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang kepada sesama manusia, terlebih kepada anak kecil.
            Setiap tanggal 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional (HAN), namun dibalik gegap gempita peringatan Hari Anak Nasional itu sendiri masih menyisakan sejumlah cacatan terkait dengan kondisi anak-anak kita saat ini sebagai generasi penerus, penyambung estafet regenerasi, harapan bangsa.
            Peringatan Hari Anak Nasional seharusnya dijadikan pijakan untuk mendorong hak-hak anak dinegeri ini, jangan sampai hak-hak mereka terabaikan apalagi dilanggar.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Disamping itu, munculnya lembaga dan LSM yang memiliki komitmen terhadap perlindungan anak, seperti Komnas Perlindungan Anak (KPA), serta adanya aturan yang ditetapkan melalui UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu dasar untuk melindungi hak-hak anak di negeri kita. Komitmen pemerintah terhadap perlindungan hak-hak anak tersebut sudah semestinya mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.

Melindungi Hak-Hak Anak Adalah Kewajiban Semua Orang
            Melihat realita saat ini sejatinya anak-anak kita, generasi dan harapan bangsa, masih diselimuti kabut asa yang mendalam, betapa tindak kekerasan masih menghantui mereka, peristiwa kekerasan terhadap anak dari tahun ketahun jumlahnya terus meningkat.
            Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak periode (2006/2007), 37 persen dari 1.386 kasus berbentuk kekerasan seksual pada anak. Kekerasan fisik 21,98 persen dan kekerasan psikis mencapai 40,12 persen. Kejadianya hampir merata diberbagai daerah dan pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti tetangga, orang tua dan guru, hal ini sebagiamana dikemukakan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr.Seto Mulyadi. Lebih lanjut Kak Seto juga menegaskan bahwa sejak pertengahan 2006, setiap bulanya ada 17 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di Jakarta.
            Sementara masih merujuk data tahun 2006, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur juga melaporkan hal yang sama. Di wilayahnya, jumlah kasus kekerasan anak meningkat tajam setiap bulannya, data Agutus 2006 terdapat 17 kasus kekerasan pada anak, kemudian pada bulan berikutnya meningkat menjadi 42 kasus. Kasus pemerkosaan merupakan kasus yang terbanyak, disusul kasus kekerasan. Begitu juga di Nias, Sumatera Utara, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) juga menerima laporan kasus penyiksaan seorang gadis cilik berusia delapan tahun disiksa oleh pamanya sejak lahir.
            Belum lagi seorang ayah tiri di Jawa Timur yang sempat  ramai diberitakan oleh media masa karena tega melindaskan anaknya di rel kereta api, walaupun anak itu selamat tetapi harus menanggung trauma dengan kehilangan satu kaki, sungguh suatu perbuatan yang biadab. Itu semua baru yang terepos dan dilaporkan kepada pihak berwajib, tentu masih banyak berbagai kasus yang belum terangkat kepermukaan yang melanda anak-anak bangsa ini, bagaiman mereka yang nasibnya kurang beruntung, terlunta-lunta dijalanan, harus mencari nafkah sendiri, dan berbagai permasalahan lain terkait dengan dunia anak-anak kita.
            Tantangan kedepan bagi anak-anak kita tidaklah kecil, ekploitasi, kekerasan, pornografi dan narkoba merupakan ancaman serius bagi anak-anak generasi harapan bangsa. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suatu sikap untuk saling peduli terhadap sesama, terutama kepada anak-anak yang masih membutuhkan bimibingan dan arahan.
Kini saatnya harus ada komitmen bersama dari berbagi elemen masyarakat untuk menghentikan kekerasan terhadap anak-anak. Pernyataan ini bisa dikatakan sudah ketinggalan, tetapi paling tidak perlunya kita mengingatkan kembali agar komitmen tersebut tidak sekedar seremonial, tetapi harus ada aksi nyata yang lebih kongkrit dan dapat dirasakan langsung oleh anak-anak yang masih mengalami intimidasi, traumatik, dan yang lebih penting juga memberikan solusi bagi masa depan mereka.
Sejak dulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan saling menghargai satu sama lain, namun seiring dampak perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, seolah masyarakat kita jauh dari sebutan luhur tersebut.
Lunturnya nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat, dampak buruk kemajuan teknologi, seperti tayangan televsi yang selalu menonjolkan kekerasan, pornografi, dan lain-lain oleh sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu faktor biang keladi terjadinya tindakan kekerasan terhadap hak-hak anak.  
Maka dari itu diperlukan kearifan tersendiri yang timbul dari hati nurani yang paling dalam bagi para pengelola media masa, baik cetak maupun elektronik untuk senantiasa berlomba-lomba menyajikan tayangan yang kreatif, mendidik dan arif kepada budaya lokal. Tidak semata-mata mengejar keuntungan yang besar tetapi mengorbankan kepentingan banyak pihak, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara dimasa depan.
Tidak kalah pentingnya pula, memberikan kesadaran kepada warga masyarakat melalui pendekatan dari sisi keagamaan. Agama apapun tentunya tidak pernah mentolerir tindakan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam Islam sudah sangat jelas sebagaimana diuraikan diatas, bagaimana seorang Rasulullah SAW memperlakukan anak-anak dengan begitu lembut dan kasih sayang.
Berkaca dari sejarah peradaban manusia, hanya manusia yang hidup pada masa jahiliyah yang begitu biadab, dalam memperlakukan anak-anak, tega mengubur anaknya sendiri dalam keadaan hidup-hidup. Apabila kasus kekerasan terhadap anak-anak terus meningkat di negeri ini, apa bedanya kita yang hidup diabad moderen, serba canggih dengan manusia yang hidup pada masa jahiliyah, yang apada akhirnya kelak semuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Sang Pemberi Amanah, Tuhan Yang Maha Perkasa. 

Oleh : W. Suratman,  
 Penulis adalah seorang Jurnalist.

Sepakati Multitafsir, Perjuangan Pers

Pers nasional masih dibekap dimensi paradoks. Di satu sisi harus mengedepankan idealisme dan pembaharuan. Namun, di sisi lain, pers dinilai telah memberikan porsi berlebih kepada aspek materialistis (mementingkan bisnis). Kondisi itulah yang sedang diformulasikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Dalam acara sarasehan pers nasional bertema ‘mempertahankan roh perjuangan pers nasional di era globalisasi,’ Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, pers di era globalisasi ini, kata dia, mau tidak mau, mengharuskan pers menyeimbangkan posisinya, yakni, tetap idealis sekaligus menjaga agar industri pers tetap sehat secara bisnis.
Pembicara dalam sarasehan tersebut, antara lain Dahlan Iskan (chariman Jawa Pos), Jakob Oetama (pemimpin umum harian Kompas), Letjen (Pur) Kiki Syahnakri (mantan Wakasad) dan Tjipta Lesmana (pemerhati persdan guru besar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan).
Jakob Oetomo mengatakan, pers akan tertinggal jika kehilangan empat fundamen penting. Yaitu, trust (kepercayaan), tidak total bekerja sebagai pekerja pers (wartawan), tidak peduli dan tidak peka terhadap kondisi sekitar, dan tidak mempunyai frame dan falsafah dalam melaksanakan pekerjaan.
“Kini kecenderungannya, kepercayaan atau trust ini sudah sangat lemah. Kita lebih cenderung berprasangka terhadap orang lain,”papar Jakob. Soal suksesnya harian Kompas dengan kelompok Kompas Gramediannya, Jakob mengatakan tidak tepat menyebut dirinya pengusaha. Pria kelahiran 27 September 1931 itu lebih suka disebut orang yang bisa mempimpin industri pers.
Sementara itu, Dahlan Iskan mengatakan, Jawa Pos bisa besar, bahkan mengalami metamorfosis menjadi sebuah holding pers yang sangat besar, bukan karena dirancang khusus untuk menjadi konglomerasi,” Jawa Pos menglir saja sesuai dengan tuntutan globalisasi itu sendiri,”kata Dahlan.
Yang harus dilakukan, kata Dahlan, pers harus menambah kepemilikan saham untuk ikut terlibat aktif mengurusi negara. Sebab, selama ini peran mengurusi negara sudah didominasi parpol.”Namun, kini porsi pengusaha yang akan ikut menanamkan saham mengurusi negara makin besar,”tambah Dahlan.
Dahlan juga berpendapat, pers memang tidak boleh memihak dan harus balance. Jika ketidak berpihakan dan mekanisme balancing itu justru memperlambat gerak pers dan mengancam fungsi kontrol secara tepat, lebih baik pers memihak saja.
“Untuk memberitakan pejabat yang korupsi, jika konfirmasi ke pejabat yang korupsi itu sulit, apa berita korupsi itu lantas tidak diturunkan hanya karena harus balance atau seimbang ? Kan tidak seperti itu,” katanya. * (rt/jp)