Selasa, 10 Agustus 2010

Cerpen : Cita-Cita Anaku


Setiap ditanya tentang cita-citanya, Upik anakku satu-satunya hanya menggelengkan kepalanya, entah apa maksudnya. Sebagai orang tua tentu saja Aku dan Istriku cukup galau dengan kondisi seperti ini. Normalnya anak seusianya tentu dengan lantangnya ketika dihujani pertanyaan tentang cita-citanya.
“Mau jadi apa kalau besar nanti, Nak….?” 
Ada yang menjawab, “Mau Jadi Dokter”,
“Mau Jadi Guru”,
“Mau Jadi Pilot”,
Dan ada juga yang mau “Jadi Gubernur”
Dan lain sebagainya.
            Macam-macam jawabannya, tentu saja sebagai orang tua kita akan merasa senang dan bangga. Paling tidak itu bisa menjadi motivasi bagi mereka kelak, untuk bisa meraih impiannya, begitulah pikiran kita sebagai orang tua.
            Namun tidaklah demikian dengan Upik, apakah ia tidak memiliki cita-cita dan harapan untuk masa depannya, apa ia tidak memiliki semangat, ambisi dan impian-impin luhur tentang masa depannya. Padahal untuk ukuran anak usia empat setengah tahun tentu sedang lucu-lucunya ketika ditanya tentang keinginan dan cita-citanya sebagaimana anak-anak sebayanya.
            Kondisi anakku yang kurang bersemangat untuk menyampaikan cita-citanya tersebut, terus terang cukup meresahkan keluarga kami. Bahkan Istriku berkali-kali menyarankan agar anaku dibawa ke-orang pinter atau ke psikolog untuk sekedar konsultasi, jangan-jangan ada yang kurang beres padanya. Namun sejauh ini aku tidak pernah memenuhi permintaan Istriku tersebut. Apalagi membawahnya ke orang pinter, dukun, klenik atau sejenisnya, itu semua bagiku tidak pas dengan syariat yang aku pegang teguh.
            “Persoalan anaku, sebenarnya bukan persoalan yang begitu serius, mungkin saja Upik belum punya pandangan atau gambaran apa sih cita-citanya kelak, atau hanya malas saja  untuk menjawabnya,” itu alasanku.
            Dengan adanya perbedaan pandangan antara Aku dan Istriku tentang keberadaan Upik, rupanya menimbulkan persoalan yang sedikit rumit diantara kami berdua. Bahkan akhir-akhir ini Istriku sering uring-uringan, tanpa sebab yang jelas.  
             Pada mulanya aku menganggap persoalan Upik, hanya persoalan sepele untuk anak-anak seusianya, namun ternyata terus menggelinding menjadi persoalan yang cukup serius, dengan puncak kemarahan Istriku yang luar biasa.
            “Aku hanya ingin anaku memiliki cita-cita, punya harapan yang luhur untuk masa depannya” ucap istriku, lirih.
            Setelah berbagai upaya dilakukan, ternyata Upik tetap bungkam tak sepatah katapun yang keluar ketika ditanya tentang cita-cita dan harapannya dimasa depan. Akupun mulai gundah gulana, sementara Istriku lebih sering melamun, entah apa yang dipikirkannya, dalam keseharianya menjalankan aktifitas kami merasa tak bersemangat, seolah ada yang aneh. Ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini.
Cita-cita dan harapan yang luhur seharusnya dimiliki oleh setiap orang, termasuk oleh anaku dan generasi bangsa ini, dengan lebih bersemangat untuk meraihnya, mewujudkannya melalui keratifitas dan karya-karyanya yang terukir indah, sehingga akan dikenang sepanjang masa dalam kehidupannya.
Diam-diam, Aku sendiri juga sering termenung, melamun tidak ubahnya dengan Isriku. Dalam hati kecilku sebenarnya ada rasa cemas dengan kondisi Anaku yang seolah-olah tidak mempunyai cita-cita dan harapan.
 
* * *

             Hari berganti hari, minggu berganti minggu, persoalan cita-cita anaku seolah lenyap ditelan kesibukan dan aktifitas keseharian, Aku dan Istriku tidak lagi mempersoalkannya, semua berjalan apa adanya, seolah tak pernah ada persoalan yang serius, hilang, lenyap begitu saja.
            Hari Sabtu kami sekeluarga diundang oleh kerabat yang tinggal di Cakung, Jakarta Timur untuk suatu acara pesta perkawinan. Dari Cigombong, Bogor  menggunakan bus antar kota jurusan Sukabumi – Pulogadung kami sekeluarga berangkat, pagi yang cerah, perjalanan yang belum terusik oleh kemacetan terasa begitu nyaman.
            Seperti biasa bus keluar dari jalur tol, turun di sekitar perempatan Cempaka Putih. Kata orang daerah ini terkenal rawan, menjadi pangkalan bagi anak jalanan dari berbagi usia, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua berkompetisi untuk sekedar mencari rejeki disini. Macam-macam aktifitas mereka, ada yang menjajakan berbagai dagangan, sekedar membersihkan kaca mobil dengan kemoceng, mengamen dengan berbagai alat musik, bahkan yang tidak memiliki alat musikpun bisa sembari tepuk tangan saja, sering pula terjadi kekerasan, kejahatan disekitar sini.
Yang paling menyesakan dada, menyaksikan realita kehidupan diperempatan Cempaka Putih ini adalah anak-anak dibawah umur yang ikut bergelut mencari rejeki disini, mereka anak-anak lugu yang belum tahu apa-apa, tetapi harus bergelut untuk mendapatkan rupiah yang tidak sebanding dengan resiko yang ditanggungnya.
Kehidupan disini begitu keras, dengan dalih kemiskinan, sulitnya lapangan kerja mereka tega mengekploitasi anak-anak yang masih dibawah umur, yang belum memiliki dosa, anak-anak lugu dan lucu, generasi bangsa yang malang, semuanya memang serba dilematis.
Seorang anak perempuan, usianya kira-kira sebaya dengan Upik anaku, pakaiannya kumal, sembari menenteng kaleng kecil yang entah diisi dengan apa, yang jelas baginya bisa dijadikan sekedar alat musik yang bisa untuk mengiringinya menyanyi. Lagu yang dinyanyikannya terasa sumbang, para penumpangpun terlihat enggan untuk mendengarnya, lantas disambung dengan sebait pusisi yang cukup menyentuh. Puisi itu berjudul ‘Cita-Citaku’
Dalam puisinya anak perempuan pengamen kumal itu, ia menyebutkan, bahwa dirinya tidak pantas menyebutkan cita-citanya, tidak pantas anak seperti dirinya memiliki harapan-harapan, bahkan untuk sekedar bermimpi saja rasanya hampa, tak pernah ia mendapatkan mimpi-mimpi indah tentang kehidupan yang nyaman dinegeri yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini.
Puisi anak perempuan pengamen kumal itu, benar-benar menyentuh, tak terasa seolah membuka mata hatiku, Istriku yang duduk disampingku beberapa kali menyapu air matanya dengan sapu tangan merah jambu yang selalu digenggamnya, sementara Upik anaku terus menatap pengamen itu, tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Perjalanan sampai terminal Pulogadung hanya tinggal beberapa kilometer lagi, namun perjalanan tersendat akibat padatnya arus lalulintas, tidak sedikit angkutan kota yang seenaknya saja ngetem, menurunkan penumpang dan memutar sembarangan, hal itu terjadi begitu saja, tanpa ada yang merasa bersalah untuk melanggar aturan, apalagi merasa berdosa dihadapan Sang Khaliq.  Sehingga semuanya menjadi begitu lambat, hawa panas mulai mengusik.  Sementara kami bertiga masih tetap membisu, bungkam, meresapi sebait puisi pengamen perempuan kecil yang telah turun entah kemana.
Seolah apa yang selama ini menjadi problem pada keluarga kami, terutama pada Upik anakku yang enggan menjawab cita-citanya, semuanya terjawab sudah. Dalam hati kecil Aku bertanya-tanya, apa jati diri bangsa ini sudah begitu rapuh, generasi yang malang seperti anaku, dan teman-teman sebayanya, tak mampu lagi menorehkan cita-citanya yang luhur. Tiba-tiba Istriku menyandarkan kepalanya kebahuku, sembari tersenyum, entah apa yang ada dalam senyumanya. (*)
Karya : Ratman Aspari
Lido Permai, Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar