Dalam Islam, anak merupakan amanah dari Allah SWT. Ia adalah titipan yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Menyia-nyiakannya berarti ingkar terhadap amanah. Sebab Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang kepada sesama manusia, terlebih kepada anak kecil.
Setiap tanggal 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional (HAN), namun dibalik gegap gempita peringatan Hari Anak Nasional itu sendiri masih menyisakan sejumlah cacatan terkait dengan kondisi anak-anak kita saat ini sebagai generasi penerus, penyambung estafet regenerasi, harapan bangsa.
Peringatan Hari Anak Nasional seharusnya dijadikan pijakan untuk mendorong hak-hak anak dinegeri ini, jangan sampai hak-hak mereka terabaikan apalagi dilanggar.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Disamping itu, munculnya lembaga dan LSM yang memiliki komitmen terhadap perlindungan anak, seperti Komnas Perlindungan Anak (KPA), serta adanya aturan yang ditetapkan melalui UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu dasar untuk melindungi hak-hak anak di negeri kita. Komitmen pemerintah terhadap perlindungan hak-hak anak tersebut sudah semestinya mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
Melindungi Hak-Hak Anak Adalah Kewajiban Semua Orang
Melihat realita saat ini sejatinya anak-anak kita, generasi dan harapan bangsa, masih diselimuti kabut asa yang mendalam, betapa tindak kekerasan masih menghantui mereka, peristiwa kekerasan terhadap anak dari tahun ketahun jumlahnya terus meningkat.
Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak periode (2006/2007), 37 persen dari 1.386 kasus berbentuk kekerasan seksual pada anak. Kekerasan fisik 21,98 persen dan kekerasan psikis mencapai 40,12 persen. Kejadianya hampir merata diberbagai daerah dan pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti tetangga, orang tua dan guru, hal ini sebagiamana dikemukakan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr.Seto Mulyadi. Lebih lanjut Kak Seto juga menegaskan bahwa sejak pertengahan 2006, setiap bulanya ada 17 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di Jakarta.
Sementara masih merujuk data tahun 2006, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur juga melaporkan hal yang sama. Di wilayahnya, jumlah kasus kekerasan anak meningkat tajam setiap bulannya, data Agutus 2006 terdapat 17 kasus kekerasan pada anak, kemudian pada bulan berikutnya meningkat menjadi 42 kasus. Kasus pemerkosaan merupakan kasus yang terbanyak, disusul kasus kekerasan. Begitu juga di Nias, Sumatera Utara, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) juga menerima laporan kasus penyiksaan seorang gadis cilik berusia delapan tahun disiksa oleh pamanya sejak lahir.
Belum lagi seorang ayah tiri di Jawa Timur yang sempat ramai diberitakan oleh media masa karena tega melindaskan anaknya di rel kereta api, walaupun anak itu selamat tetapi harus menanggung trauma dengan kehilangan satu kaki, sungguh suatu perbuatan yang biadab. Itu semua baru yang terepos dan dilaporkan kepada pihak berwajib, tentu masih banyak berbagai kasus yang belum terangkat kepermukaan yang melanda anak-anak bangsa ini, bagaiman mereka yang nasibnya kurang beruntung, terlunta-lunta dijalanan, harus mencari nafkah sendiri, dan berbagai permasalahan lain terkait dengan dunia anak-anak kita.
Tantangan kedepan bagi anak-anak kita tidaklah kecil, ekploitasi, kekerasan, pornografi dan narkoba merupakan ancaman serius bagi anak-anak generasi harapan bangsa. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suatu sikap untuk saling peduli terhadap sesama, terutama kepada anak-anak yang masih membutuhkan bimibingan dan arahan.
Kini saatnya harus ada komitmen bersama dari berbagi elemen masyarakat untuk menghentikan kekerasan terhadap anak-anak. Pernyataan ini bisa dikatakan sudah ketinggalan, tetapi paling tidak perlunya kita mengingatkan kembali agar komitmen tersebut tidak sekedar seremonial, tetapi harus ada aksi nyata yang lebih kongkrit dan dapat dirasakan langsung oleh anak-anak yang masih mengalami intimidasi, traumatik, dan yang lebih penting juga memberikan solusi bagi masa depan mereka.
Sejak dulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan saling menghargai satu sama lain, namun seiring dampak perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, seolah masyarakat kita jauh dari sebutan luhur tersebut.
Lunturnya nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat, dampak buruk kemajuan teknologi, seperti tayangan televsi yang selalu menonjolkan kekerasan, pornografi, dan lain-lain oleh sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu faktor biang keladi terjadinya tindakan kekerasan terhadap hak-hak anak.
Maka dari itu diperlukan kearifan tersendiri yang timbul dari hati nurani yang paling dalam bagi para pengelola media masa, baik cetak maupun elektronik untuk senantiasa berlomba-lomba menyajikan tayangan yang kreatif, mendidik dan arif kepada budaya lokal. Tidak semata-mata mengejar keuntungan yang besar tetapi mengorbankan kepentingan banyak pihak, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara dimasa depan.
Tidak kalah pentingnya pula, memberikan kesadaran kepada warga masyarakat melalui pendekatan dari sisi keagamaan. Agama apapun tentunya tidak pernah mentolerir tindakan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam Islam sudah sangat jelas sebagaimana diuraikan diatas, bagaimana seorang Rasulullah SAW memperlakukan anak-anak dengan begitu lembut dan kasih sayang.
Berkaca dari sejarah peradaban manusia, hanya manusia yang hidup pada masa jahiliyah yang begitu biadab, dalam memperlakukan anak-anak, tega mengubur anaknya sendiri dalam keadaan hidup-hidup. Apabila kasus kekerasan terhadap anak-anak terus meningkat di negeri ini, apa bedanya kita yang hidup diabad moderen, serba canggih dengan manusia yang hidup pada masa jahiliyah, yang apada akhirnya kelak semuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Sang Pemberi Amanah, Tuhan Yang Maha Perkasa.
Penulis adalah seorang Jurnalist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar