Pers nasional masih dibekap dimensi paradoks. Di satu sisi harus mengedepankan idealisme dan pembaharuan. Namun, di sisi lain, pers dinilai telah memberikan porsi berlebih kepada aspek materialistis (mementingkan bisnis). Kondisi itulah yang sedang diformulasikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Dalam acara sarasehan pers nasional bertema ‘mempertahankan roh perjuangan pers nasional di era globalisasi,’ Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, pers di era globalisasi ini, kata dia, mau tidak mau, mengharuskan pers menyeimbangkan posisinya, yakni, tetap idealis sekaligus menjaga agar industri pers tetap sehat secara bisnis.
Pembicara dalam sarasehan tersebut, antara lain Dahlan Iskan (chariman Jawa Pos), Jakob Oetama (pemimpin umum harian Kompas), Letjen (Pur) Kiki Syahnakri (mantan Wakasad) dan Tjipta Lesmana (pemerhati persdan guru besar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan).
Jakob Oetomo mengatakan, pers akan tertinggal jika kehilangan empat fundamen penting. Yaitu, trust (kepercayaan), tidak total bekerja sebagai pekerja pers (wartawan), tidak peduli dan tidak peka terhadap kondisi sekitar, dan tidak mempunyai frame dan falsafah dalam melaksanakan pekerjaan.
“Kini kecenderungannya, kepercayaan atau trust ini sudah sangat lemah. Kita lebih cenderung berprasangka terhadap orang lain,”papar Jakob. Soal suksesnya harian Kompas dengan kelompok Kompas Gramediannya, Jakob mengatakan tidak tepat menyebut dirinya pengusaha. Pria kelahiran 27 September 1931 itu lebih suka disebut orang yang bisa mempimpin industri pers.
Sementara itu, Dahlan Iskan mengatakan, Jawa Pos bisa besar, bahkan mengalami metamorfosis menjadi sebuah holding pers yang sangat besar, bukan karena dirancang khusus untuk menjadi konglomerasi,” Jawa Pos menglir saja sesuai dengan tuntutan globalisasi itu sendiri,”kata Dahlan.
Yang harus dilakukan, kata Dahlan, pers harus menambah kepemilikan saham untuk ikut terlibat aktif mengurusi negara. Sebab, selama ini peran mengurusi negara sudah didominasi parpol.”Namun, kini porsi pengusaha yang akan ikut menanamkan saham mengurusi negara makin besar,”tambah Dahlan.
Dahlan juga berpendapat, pers memang tidak boleh memihak dan harus balance. Jika ketidak berpihakan dan mekanisme balancing itu justru memperlambat gerak pers dan mengancam fungsi kontrol secara tepat, lebih baik pers memihak saja.
“Untuk memberitakan pejabat yang korupsi, jika konfirmasi ke pejabat yang korupsi itu sulit, apa berita korupsi itu lantas tidak diturunkan hanya karena harus balance atau seimbang ? Kan tidak seperti itu,” katanya. * (rt/jp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar