Akhmad Rovahan tak menyangka
artikelnya berbuntut panjang. Akhmad bukan wartawan. Pengajar di sebuah
madrasah di Buntet, Cirebon,
itu menulis karut-marut pengucuran dana pendidikan untuk tujuh sekolah di
Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara Komunitas,
salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi informasi, akhir tahun
lalu.
Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan
Pemeriksa Keuangan mengecek langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus.
Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat provinsi. "Orang pemerintah
daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.
Kejadian itu bukan satu-satunya.
Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah yang siswanya belajar secara
lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah," kata
Akhmad. Ada
juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa
Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs
media komunitas.
Pengaruh media warga atau kadang
disebut media komunitas, yang dikelola dengan prinsip jurnalisme publik
(citizen journalism)-dari, oleh, dan untuk warga-memang terasa menguat. Tidak
sedikit "teriakan" media-media komunitas yang bercokolan di berbagai
penjuru negeri ini terdengar sampai ke Ibu Kota Jakarta.
Kementerian Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan pun sampai menggelar rapat khusus tentang media komunitas pada
Rabu dua pekan lalu. Pejabat bidang komunikasi kementerian tersebut membahas
cara mengoptimalkan manfaat media komunitas untuk sosialisasi program
pemerintah. Harapan pemerintah, sosialisasi lebih efektif dan tepat sasaran
dengan menggunakan media warga ketimbang melalui media arus utama (mainstream).
Media warga memang berkembang
pesat dalam beberapa tahun terakhir. Suara Komunitas, misalnya, dalam kurun
tiga tahun, kontributornya mencapai 350 orang, yang tersebar di 17 wilayah
se-Indonesia. Akhir Maret lalu para editor dari berbagai wilayah berkumpul di Cirebon untuk membahas
pengembangan Suara Komunitas. Sejauh ini, tercatat peningkatan konten dari 673
tulisan pada 2008 menjadi 2.023 tulisan sepanjang 2010. "Bukan hanya
kuantitas, kami juga mulai konsentrasi menguatkan dampak ke khalayak,"
kata Nasir, salah satu pengurus.
Dari Bandung, muncul Citizen
Journal akhir bulan lalu, yang dimotori oleh Urbane Community, gerakan peduli kota berbasis komunitas.
Buahnya, warga pun mendadak jadi pewarta.
M. Achsan, siswa Sekolah
Menengah Kejuruan Pekerjaan Umum Kota Bandung, contohnya. Selain kegiatan
sekolah, kini dia rajin mengamati peristiwa di lingkungannya. Begitu ada yang
menarik, kameranya pun langsung beraksi: jepret! "Saya ingin menyampaikan
informasi sekitar," kata dia bersemangat.
Wartawan komunitas lainnya
melakukan peliputan sesuai dengan lokasi tinggal atau kegiatan. Hingga kini
sudah 20 komunitas rukun warga sukarelawan Citizen Journal. Para
pewarta itu merekam fakta yang diunggah ke Facebook, lalu semua informasi itu
digabung tayang di situs www.citizenjournal-bdg.org. "Mereka cinta Bandung, ingin
berpartisipasi dengan berbagi informasi," kata arsitek Ridwan Kamil,
pendiri Urbane Community.
Tiap-tiap komunitas dibekali
kamera dari dana sosial perusahaan Ridwan. "Tahap awal dengan kamera,
lebih fun dan relatif ringan," kata Reggy Kayong Munggaran, salah satu
penggiatnya. Berita foto atau tulisan itu tayang sesuai dengan kategori yang
ditetapkan.
Situs itu memang Sunda pisan.
Nama kanalnya antara lain Sindang Heula, berisi berita tentang lokasi menarik.
Jawara Kampung bercerita tentang sosok-sosok lokal inspiratif. Jika ingin
mengetahui keluhan warga, bisa baca di Kukulutus atau Seratan Hate. Tentu tidak
semua harus serius. Ingin bergosip? Mari baca-baca Harewos Bojong.
Semua dipersiapkan untuk
menampung partisipasi lebih luas. Targetnya, total 3.000 komunitas RW di
Bandung bergabung. "Nantinya tak ada lagi alasan pemerintah tidak tahu
persoalan di bawah," kata Ridwan.
Di Bali, ada Balebengong. Warga
bebas mengirim tulisan opini atau reportase ke situs berita
www.balebengong.net, yang berslogan "Berbagi Kabar dari Bali". Di
sini pembaca dapat menikmati beragam tulisan. Dari kuliner di Bali, obyek
wisata, hingga masalah sosial.
Balebengong ada sejak
pertengahan 2007, ketika blog pribadi marak. Anton Muhajir, wartawan lepas
penggagas Balebengong, memodifikasi blog pribadi menjadi publik, seperti
Panyingkul.com di Makassar dan Wikimo.com di Jakarta. "Namanya menunjukkan
tempat orang bisa mengobrol sesuka hati," katanya. Awalnya hanya mencakup
wilayah Denpasar, selanjutnya meluas ke seluruh Bali. Situs ini juga
menyediakan link blog para kontributor, yang kemudian bergabung dalam komunitas
Bali Blogger.
Selain memiliki domain sendiri,
kontributor Balebengong kini mencapai 160 orang. Sebagai penjaga, Anton dibantu
enam orang. Jumlah pengakses rata-rata seribu orang per hari, pernah tembus
hingga 6.000 ketika ada tulisan tentang Superman is Dead, nama band berpengaruh
di Bali.
Melihat potensi kunjungan itu,
sejumlah pemilik produk pun berminat memasang iklan di Balebengong. Tapi sejauh
ini pengelola sepakat menolak. Ada kekhawatiran para penulis berorientasi
komersial. "Sejak awal maunya gotong-royong saja," kata Anton.
Para kontributor memposisikan
Balebengong sebagai media alternatif. Salah satunya Gayatri, aktivis gerakan
perempuan di Bali, yang kecewa terhadap media arus utama karena tidak menerima
tulisan-tulisan kritisnya, terutama soal adat setempat. Di Balebengong
tulisannya mengalir tanpa sensor, dan makin meluas setelah diunggah ulang ke
Facebook.
Reaksi pembaca bukannya tak ada.
Pande Nyoman Artawibawa, pegawai pemerintah daerah Badung, yang rajin
mengunggah tulisan kritis, misalnya tentang kegagalan wilayah Dalung menjadi
kota satelit Denpasar, sering diprotes teman-temannya dan dianggap kurang
kerjaan.
Jumlah penulis pun bertambah.
Pengelola juga rutin menyelenggarakan pelatihan jurnalisme warga. Saat ini
sudah mencapai tujuh angkatan, masing-masing 15-20 orang. Langkah ini sekaligus
mengatasi kendala soal kemampuan menulis dan menjaga konsistensi media warga.
"Kami optimistis bertahan melihat semakin banyak orang melek
Internet," kata Anton.
Teknologi Internet memacu
jurnalisme warga berkembang pesat. Ini fenomena global. Salah satu tonggak penting
jurnalisme warga adalah kejadian bom yang mengguncang London, 7 Juli 2005. Saat
itu Tim Porter yang istrinya berada di lokasi menyiarkan tragedi itu dengan
cepat melalui situs pribadinya, First Draft. Sebelumnya, dia mengumpulkan
informasi dari video yang diunggah warga di lokasi kejadian.
Wujud jurnalisme warga lain yang
fenomenal adalah situs OhmyNews, yang diluncurkan pada awal 2000 di Seoul,
Korea Selatan. Dari sekitar 60 ribu reporternya yang tersebar di berbagai
negara, 80 persen di antaranya warga biasa yang aktif berbagi informasi. Tak
mengherankan, slogannya pun mengundang: "Every Citizen is a
Reporter".
Berbekal semangat melihat gelora
jurnalisme warga, baik di dalam maupun di luar negeri itu, Gunanto, pengusaha
peternakan di Purbalingga, Jawa Tengah, pun merintis hal serupa setelah mundur
dari profesi wartawan di Jakarta. Dia mengumpulkan anak muda setempat untuk
menjadi jurnalis warga. "Banyak yang bersemangat, mungkin dorongan
mendasar orang ingin bercerita," katanya.
Buahnya, sejak Januari lalu
meluncurlah media Kabare Bralink-sebutan lain kawasan Purbalingga. Semua
kontributor bebas menuliskan berita apa saja. Muatan lokal disematkan dengan
cara menggunakan parikan atau pantun berbahasa setempat. Satu berita yang
berisi kritik keras ditutup dengan parikan yang bermakna permintaan maaf: lawuh
welut segane pera, salah luput njaluk ngapura.
Sumber : Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar