Oleh : Ratman Aspari
Pagi itu Putri enggan untuk berangkat ke sekolah. Bocah yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar ini mengurung diri di dalam kamar, duduk termangu, sembari memandang kelangit-langit kamarnya, seolah ada yang sedang dipikirkannya. Sementara bibirnya tetap membisu, sejak pagi tidak ada sepatah katapun yang ia ucapkan.
Beberapa kali neneknya memanggil, namun Putri tetap acuh tak sepatah katapun yang terucap begitupun dengan Bayu kakak lelakinya yang duduk di kelas dua SLTP, terus memaksa untuk membukakan pintu kamarnya.
“Put, ayo kita berangkat, sudah siang nih,” beberapa kali Bayu memanggilnya sembari mengetuk pintu kamar adiknya. Namun tidak ada sepatah katapun yang menyautnya, sehingga Bayupun menyerah.
Bayu terus berkemas, dengan perasaan sedih meninggalkan kamar adiknya, lantas kebelakang menemui neneknya yang sedang memasak di dapur untuk berpamitan.
“Nek, Bayu berangkat dulu, ya, tolong jagain Putri,”ujar Bayu sembari mencium tangan neneknya. “Hati-hati dijalan ya, naik sepedanya jangan kencang-kencang,”jawab neneknya singkat, sembari mengantarkan Bayu sampai ke ujung halaman rumahnya.
Bunyi gemerincing sepeda Bayu yang menerjang bebatuan dihalaman, akhirnya melesat meninggalkan rumah Nenek Saripah yang asri dengan rimbunan pepohonan. Orang tua itu terus memandangi cucunya, sampai tidak terlihat lagi karena arah perjalananya berbelok masuk ke jalan besar’
Pandanganya jauh menerawang, menyibakan tabir-tabir kehidupan sebuah keluarga, dengan segala liku-likunya, yang terjerembab dalam kondisi serba kekurangan,kemiskinan,dan kepedihan,seolah menyatu menjadikan riak-riak melodi yang indah, untuk dijalaninya dalam sebuah ritme kehidupan yang semuanya sudah diatur oleh Sang Maha Kasih.
Tanpa terasa bulir-bulir bening satu persatu berjatuhan dari kelopak mata nenek tua itu, dengan selendang yang melilit di pinggangnya, ia seka bulir-bulir bening itu, sehingga tampak matanya sembab. Bergegas kembali kedapur, namun sampai ruang tengah terasa kakinya begitu lemas, akhirnya ia terduduk dikursi sembari memandangi kamar Putri yang masih tertutup, sejak pagi. Ada perasaan kuatir, dan risau dengan kondisi cucu perempuannya,kalau sampai terjadi apa-apa.
Akhirnya nenek tua itupun meluapkan isak tangisnya diruang tengah yang sepi,sehingga tanpa disadari,terdengar oleh Putri yang sedari tadi mengurung didalam kamar. Mendengar isak tangis neneknya,dengan serta merta pintu kamar itupun terkuak, sosok bocah kecil itu mengintip dari balik pintu dengan rasa penasaran ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dengan neneknya.
Lantas Putri lari kepangkuan neneknya, kedua insan itu berpelukan, seolah ingin meluapkan perasaannya masing-masing yang selama ini mengganjal di dadanya.
***
Dalam dekapan cucunya itu, seolah apa yang mengganjal dalam dada masing-masing dengan jelas terlintas didepan Nenek Saripah. Warni, ibu dari Bayu dan Putri anak satu-satunya Nenek Saripah harus pergi meninggalkan dirinya serta kedua anaknya yang masih kecil-kecil untuk mengadu nasib di negeri Jiran, menjadi TKW, beberapa minggu lalu. Ini semua dilakukan Warni demi untuk masa depan anak-anaknya. Semenjak suaminya meninggal,otomatis dirinya harus berperan ganda, banting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup kedua anak-anaknya sekaligus orang tua satu-satunya Nenek Saripah. Apalgi restoran ditempatnya kerja selama ini sudah tidak bisa diharapkan lagi, sepi, tidak ada pelanggan, nasib sebuah restoran di kota kecil yang terlindas oleh persaingan zaman, sehingga karyawannya yang menjadi korban. Sebuah potret kemiskinan dan sulitnya mengais rezeki bagi rakyat kecil begitu nampak di kota kecil ini.
Semenjak kepergian Warni itulah Putri yang masih haus kasih sayang ibunya, selalu murung, tidak bersemangat untuk sekolah. Jauh, ketika ibunya masih kerja disebuah restoran kecil di kotanya yang setiap hari pulang pergi ditempuhnya dengan mengayuh sepeda, untuk jarak tempuh kurang lebih lima kilometer. Sekalian berangkat kerja, pagi-pagi diboncengnya Putri untuk diantar ke sekolah. Ada suasana damai,penuh perhatian demikian yang dirasakan Putri.
Namun semenjak ibunya pergi menjadi TKW kondisi itu tidak lagi didapatkannya. Sementara Bayu,sebagai anak sulung rupanya lebih tabah menghadapi segala hal yang terjadi, walaupun terkadang ia juga sering terlihat duduk termenung sendirian, entah apa yang sedang dipikirkanya.
“Apakah tekadmu sudah bulat War, apa tidak kasihan dengan anakmu, Bayu dan Putri,” dengan terbata-bata suara Nenek Saripah memecah keheningan, ketika malam itu Warni mengungkapkan keinginannya untuk mengadu nasib sebagai TKW.
Diterangi temaram lampu diruang tengah dua sosok antara anak dan ibu yang sedang mendiskusikan masa depannya, beberapa pekan sebelum keberngakatan Warni, suasanya malam itu dengan jelas terlintas dibenak Nenek Saripah, seolah ia sedang memutar kembali waktu yang telah berlalu.
“Iya, Bu, Warni paham, tetapi mau bagaimana lagi, kondisi disini semakin sulit. Restoran tempat Warni bekerja sudah tidak bisa diharapkan lagi. Sementara Bayu dan Putri semakin besar, kebutuhannya semakin banyak. Seandainya saja Bapaknya anak-anak masih ada, “ujar Warni sembari menghela napas.
***
Waktu terus berlalu, hari berganti hari, minggu berganti minggu, begitu seterusnya, perputaran waktu yang biasanya begitu terasa cepat, belakangan ini dirasakan Nenek Saripah begitu lambat dan lama. Tidak terasa waktu sudah berjalan hampir enam bulan semenjak kepergian Warni menjadi TKW ke Malysia. Dalam jangka waktu selama itu, kondisi di rumah Nenek Saripah tetap seperti biasa, tidak ada perubahan yang istimewa.
Sekali-kali Putri masih suka ngambek tidak mau berangkat ke sekolah, mengurung diri di dalam kamar ,ini terjadi ketika rasa kangen kepada ibunya datang.
Pagi itu, hujan gerimis, kabut tipis menyelemuti kota kecil dimana Nenek Saripah bersama dua orang cucunya Bayu dan Putri tinggal, suasana terasa hening, sepi, lalaung lalang kendaraan yang biasanya ramai dijalan raya, seakan berhenti. Ditengah keheningan, tiba-tiba warga dikejutkan oleh sebuah suara sirene mobil ambulan yang meraung-raung, memecah keheningan dipagi buta. Sayup-sayup suara mobil itu mendekat, berhenti tepat dihalaman rumah Nek Saripah, sontak semua penguni rumah, terutama Nek Saripah terbangun dan segera bergegas menghabur keluar rumah, ingin tahu apa yang terjadi.
Melalui pantulan cahaya lampu mobil, Nenek Saripah melihat dua orang lelaki menurunkan kereta dorong, dari dalam mobil, seorang perempuan terbaring lunglai diatas kereta dorong tersebut. Semakin dekat, semakin jelas sosok perempuan itu tidak lain adalah Warni, anak Nenek Saripah,ibu dari Bayu dan Putri yang pergi menjadi TKW ke Malysia, demi untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkannya. Hampir saja Nenek Saripah terjatuh pinsan setelah melihat, benar adanya bahwa perempuan yang terkulai itu adalah Warni. Namun, ucapan istigfar dan permohonan do’a-do’a terus meluncur dari mulut Nenek Saripah, melalui kekuatan do’a ini kekuatan tubuh Nenek Saripah menjadi kokoh, tak jadi oleng.
Setelah masuk kedalam rumah ,kedua orang lelaki itu menceritakan semua kronologis kejadian yang menimpa Warni, dengan serta merta Nenek Saripah terus berisak tangis, sementara Bayu dan Putri hanya bisa menatap, memandangi ibunya yang terbaring lunglai. Inti dari kejadian itu, bahwa Warni terjatuh dari lantai tiga apartemen rumah majikannya di Malaysia, ketika anak dari majikannya hendak memperkosanya. Demi untuk mempertahankan harga dirinya Warni rela melompat dari apartemen itu.
Menjelang siang rumah Nenek Saripah ramai dikunjungi oleh para tetangga dan sanak kerabat, kabar kedatangan Warni yang naas dari Malaysia cepat tersiar keseluruh kota kecil bahkan sampai kepelosok dimana Nenek Saripah tinggal. Para tetanggga dan sanak kerabat banyak yang menaruh simpati, ikut merasakan kepedihan yang dialami oleh keluarga Nenek Saripah, mereka bergotong royong, terus bergiliran memberikan bantuan semampunya.
Praktis hampir setiap hari rumah Nenek Saripah tidak pernah sepi, ada saja tetangga dan sanak kerabat yang berdatangan. Ternyata nilai-nilai tolong menolong dan gotong royong masing kental dimasyarakat kecil, terutama masyarakat miskin yang ada dikampung-kampung seperti para tetangga dan sanak kerabat Nenek Saripah ini.
***
Beberapa tahun berlalu, kepedihan yang melanda keluarga Nenek Saripah sedikit demi sedikit mulai terobati. Kondisi Warni sudah mulai normal, bisa berjalan kembali, walaupun satu kakinya tidak lagi berfungsi, praktis ia berjalan menggunakan tongkat penyangga. Hasil tunjangan kecelakaan yang diterimanya, ia gunakan untuk membuat warung dipinggir jalan raya, yang tidak jauh dari rumahnya. Sementara anak-anaknya sudah mulai beranjak dewasa, Wahyu sudah bekerja pegawai negeri sipil di kantor pemerintahan Kota tempat tinggalnya, sementara Putri menjadi Bidan di Puskesmas yang tidak jauh dari kampung halamannya.
Sayangnya Nenek Saripah yang begitu tulus mengurusi keluarga itu dengan segala kepedihannya, tidak bisa terus ikut terus mendampingi keluarga kecil itu, beberapa bulan lalu ia telah kembali kepangkuan Illahi.
Seuasi sholat wardu, Warni, Bayu dan Putri tidak pernah melupakan untuk mengirim do’a bagi kedamaian bagi Nenek Saripah. Seolah tahu dari alam baka sana, Nenek Saripah selalu tersenyum melihat anak dan cucu yang ditinggalkannya merasakan sedikit kebahagiaan, telah terlepas dari belenggu kepedihan, walaupun selama ini hidup dalam kondisi serba kekurangan, namun nilai-nilai kehormatan dan harga diri, seperti yang dialami oleh Warni anak satu-satunya masih tetap kokoh dipertahankannya. (*)
Ratman Aspari, selama ini bergiat sebagai Jurnalist, Penggiat Citizen Jurnalism dan pendiri Rumah Baca Asah-Asih-Asuh, beberapa tulisannya telah dimuat beberapa media, baik cetak maupun online. "Demi Masa Depan Anaku' ini merupakan salah satu "Cerpen" hasil karyanya yang ditulis medio Februari 2012. Untuk koresponden,bisa di vi e-mail : masratman22@yahoo.co.id dan No.HP.0852.1708.4656
BalasHapus