Oleh : W. Suratman *)
IBARAT - Sebuah panggung yang
menyajikan pertunjukan, para penonton tentu akan semakin nyaman dan berselera
ketika di-suguhkan sebuah pertunjukan yang baik. Lantas batasan pertunjukan
yang baik itu sendiri tentu sangat tergantung pada pribadi masing-masing. Namun
kita semua tentu akan sepakat, bila pertunjukan itu menyejukan, dan paling
tidak ada unsur mendidik, dan memiliki pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan,
termasuk moral, etika dan estetika juga ada didalamnya, tidak semata-mata
menghibur begitu saja. Tentu kita tidak keberatan untuk mengacungkan jempol,
pertanda menaruh tanda suka pada pertunjukan tersebut.
Begitu juga
dengan Republik yang kita cintai ini, negeri bernama Indonesia, seharusnya Sang
Raja dibalik istana dan para punggawa yang bertahtah di kursi kekuasaan mampu
menyajikan sebuah melodrama pertunjukan yang sejuk, dan memberikan semangat
kepada rakyatnya, sehingga rakyat merasa terhibur, termotivasi yang pada
giliranya menjadikan pemicu semangat dalam berkarya.
Namun sayang,
sampai detik-detik akhir kekuasaanya, rezim yang bertengger di kursi kekuasaan
yang tinggal sejengkal, belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan bagi
semua pihak, terutama bagi rakyat kecil, kalangan bawah, utamanya para petani,
buruh, nelayan dan lain-lainya.
Apalagi dalam
hari-hari terakhir rakyat disuguhkan sebuah drama pertunjukan yang cukup
memuakan, andai saja ini benar, maka kita sebagai rakyat tidak cukup hanya
mengelus dada, sembari geleng-geleng kepala. Tentu yang kita akan lakukan
adalah, mengepalkan tangan, sembari bersumpah serapah. Hari ini kita
menyaksikan runtuhnya kepercayaan rakyat kepada para punggawa keadilan.
Betapa tidak
seorang yang memimpin lembaga hukum, yang tentu saja sangat paham akan hal
ihwal tentang aturan mana yang salah dan mana yang benar, justru tertangkap
basah di-duga terlibat dalam kasus suap, sampai-sampai ruang kantornya disegel,
berarti ruang kantor itu kotor secara hukum. Sungguh sebuah pertunjukan yang
memuakan, dan sangat menyesakan dada bagi kita semua.
Kita muak,
dengan petingkah para punggawa yang berlindung dibalik baju kebesaranya, tetapi
sejatinya justru mengkorup uang rakyat. Betapa pedih dan sesaknya dada kita,
ketika menyaksikan realita bahwa hukum yang selama ini diagung-agungkan sebagai
panglima, ternyata tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat kecil.
Runtuhnya
gerbong keadilan ini, tentu bukan sebuah
kebetulan, sebagai seorang yang beragama tentu kita sangat percaya akan campur
tangan Sang Pengatur Alam Semesta.
"Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema'lumkan, "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.Ibrahim :
7). Begitulah dengan sangat gamblang tertulis dalam Kitab Suci Al Qur'an,yang
harus kita yakini.
Ketika rakyat
kecil seolah sedang sekarat, akibat didera oleh berbagai persoalan, terutama
untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya yang begitu berat. Namun seorang
punggawa institusi hukum yang begitu terhormat, dengan gajinya ratusan juta,
andaikan semua ini benar, masih terlarut dalam permainan upeti dan sogok, maka
ini semua tentu bukan sebuah kebetulan, Sang Pemilik Alam Semesta murka,
melalui Keperkasaanya, dengan mudahnya mencabut nikmat dan menghinakanya,
dari yang semula di-panggil 'Yang Mulia menjadi Yang Tersangka.'
Sampai-sampai
Sang Raja tergopoh-gopoh, dipanggilnya para punggawa kerajaan, dikumpulkan
untuk mendengarkan wejangan Sang Raja di istana. Entah apa yang diwejangkan
Sang Raja, hanya terdengar sayup-sayup.
Para abdi dan
pelayan istanapun dibuat sibuk, tidak sepatah katapun yang terucap dari para abdi
dan pelayan itu, mereka sibuk menyiapkan keperluan untuk tuanya dan para
punggawa yang sedang bersidang di istana malam itu.
Dari sorot
matanya yang menampakan kecemasan, para abdi dan pelayan istana tidak terucap
sepatah katapun, mereka hanya mampu membatin, ‘Jangan-janga para punggawa ini
pada sekongkol dan terlibat, sehingga Sang Raja cepat-cepat memanggilnya, takut Sang
Pemilik Alam Semesta, murka,’demikian batin dalam hati masing-masing para abdi
dan pelayan.
Sementara,
diluar istana, mulai dari kedai kopi pinggir jalan, restoran mewah, di pojok
gang sempit, sampai gedung pencakar langit, rakyat riuh memperbincangkan
tertangkap basahnya punggawa institusi hukum, yang disiarkan televisi,secara
berulang-ulang, bak sinetron picisan.
Dan
bersyukurlah, rakyat dinegeri ini terlanjur
dikenal sebagai rakyat yang ramah-tamah, memilki rasa tepo seliro, ewuh pakewuh,
sehingga seburuk dan sebobrok apapun yang terjadi pada para punggawa kerajaan,
hanya sebatas riuh menjadi bahan
perbincangan, di warung dan kedai kopi, lantas menguap, hilang, seolah tak
pernah terjadi apa-apa.
Rakyat dibuat
semakin bingung, apa sebenarnya yang sedang dimainkan oleh para elit politik,
dengan scenario canggih nan rapih, mengalir
deras memenuhi ruang-ruang tamu rakyat seantero negeri melalui layar
kaca media elektronik yang sangat sadis mencekoki, dan mencuci otak anak-anak
negeri untuk mengikuti apa yang mereka inginkan.
Entahlan, rakyat
hanya diam, membisu, apatis pada semua ini…....
Namun jangan
salah, rakyat adalah pemegang kedaulatan di republik ini, ketika melihat mereka
yang bertahtah di kursi kekuasaan, sebagai pemegang amanah kedualatan rakyat,
terus berfoya-foya dengan kerakusannya, bukan tidak mungkin diam dan membisunya
rakyat akan menjadi energi besar yang
mampu menggerakan kekuatan baru untuk merontokan dan menarik kembali amanat
yang dititipkannya.(*)
*)
Penulis adalah, Anggota Persaudaraan Jurnalist Muslim Indonesia (PJMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar