dalam duka (I)
angin, sepi dan mimpi mimpi, adalah sahabat setia,
yang selalu siap untuk diajak bercanda dalam duka,
di kamar pengap segelap pelataran neraka.
ada jendela kecil untuk menyaksikan indahnya taman surga
tapi tak selamanya terbuka, lantaran derita yang mencekam
terkadang melumatkan kedekatanku kepada-Nya.
dalam duka (II)
rembulan senja belum mampu menampakan wajahnya yang pucat kelelahan.
langit hitam masih mengepung dari semua yang pengab.
angin yang lewat tak begitu jelas meniupkan kabar apa, kiamat bakal segera tiba,
atau mukjizat tentang kesembuhan seorang tua yang tengah tercekik kesakitan dalam kesendirianya.
semua rahasia serba rahasia. dan hanya Dia yang tahu segalanya.
Minggu, 08 Desember 2013
Sabtu, 12 Oktober 2013
Kumpulan Catatan Mbah Ddidek
DUKA PANJANG KAUM PINGGIRAN
Lapar dirangkulnya erat-erat sepanjang perjalanan.
Dahaga menjadi kerabat setianya.
Dalam sepi belum juga ditemukan orang-orang yang peduli.
Mereka berjalan terus mengejar mimpi yang tak kunjung berhasil disalami.
Sahur dan bukapun tak hapal diotaknya yang beku oleh penderitaan.
Si buta yang mengemis di jalan-jalan,
Kaum papa yang berteduh di kolong-kolong jembatan
Dan kambing-kambing yang melacur di rel-rel kereta,
Merekalah yang sudi menyatukan diri,
Rame-rame,
Meneriakan pekik kemanusiaan
"Merdeka, atau Kami harus mati".
Kesalahpahaman yang terumbar bagaikan fitnah,
Ucapan lancang yang membuahkan kepedihan,
Nasehat-nasehat yang lahir seperti menggurui,
Kegembiraan berlebihan yang melahirkan kegaduhan,
Prasangka-prasangka yang mengalir tanpa aturan,
Berbagai petingkah yang menyebalkan,
Kekhilafan-kekhilafan yang membuat suatu janji dan harapan menjadi terhalang untuk diwujudkan,
Ketidakselarasan yang tertafsir sebagai pengkhianat,
Gurauan yang terterima sebagai keglauan,
Langkah-langkah brutal yang membuat orang lain menjadi tidak nyaman,
Sikap egoisme yang belum sepenuhnya berhasil kami padamkan.
Mohon diamaafkan lahir batin pada suasana yang penuh rahmat dan ampunan ini.
Kedepan semoga tak terulang lagi.
Semua diharapkan akan menjadi lebih jernih dan kian indah.
Selamat menjalankan Ibadah Puasa.....
Dahaga menjadi kerabat setianya.
Dalam sepi belum juga ditemukan orang-orang yang peduli.
Mereka berjalan terus mengejar mimpi yang tak kunjung berhasil disalami.
Sahur dan bukapun tak hapal diotaknya yang beku oleh penderitaan.
Si buta yang mengemis di jalan-jalan,
Kaum papa yang berteduh di kolong-kolong jembatan
Dan kambing-kambing yang melacur di rel-rel kereta,
Merekalah yang sudi menyatukan diri,
Rame-rame,
Meneriakan pekik kemanusiaan
"Merdeka, atau Kami harus mati".
Kata-Kata Hikmah
17 Juli 2013 pukul 4:57
Kata-kata yang terlanjur terucap dan terasa menyakitkan,Kesalahpahaman yang terumbar bagaikan fitnah,
Ucapan lancang yang membuahkan kepedihan,
Nasehat-nasehat yang lahir seperti menggurui,
Kegembiraan berlebihan yang melahirkan kegaduhan,
Prasangka-prasangka yang mengalir tanpa aturan,
Berbagai petingkah yang menyebalkan,
Kekhilafan-kekhilafan yang membuat suatu janji dan harapan menjadi terhalang untuk diwujudkan,
Ketidakselarasan yang tertafsir sebagai pengkhianat,
Gurauan yang terterima sebagai keglauan,
Langkah-langkah brutal yang membuat orang lain menjadi tidak nyaman,
Sikap egoisme yang belum sepenuhnya berhasil kami padamkan.
Mohon diamaafkan lahir batin pada suasana yang penuh rahmat dan ampunan ini.
Kedepan semoga tak terulang lagi.
Semua diharapkan akan menjadi lebih jernih dan kian indah.
Selamat menjalankan Ibadah Puasa.....
HIDUP BELUM BERAKHIR
17 Juli 2013 pukul 5:12
Sia-siakah sisa hidup mereka
Dengan sepenggal nafas
Dan darah yang masih mengalir
Darah merah darah putih
Menandai hayat tak pernah letih
Sepanjang jalan dari hulu kehilir
Semerbak mawar melati
Harumnya yang mereka hirup
Membuat jiwa beku menjadi cair
Memaknai hidup yang belum berakhir
Dengan sepenggal nafas
Dan darah yang masih mengalir
Darah merah darah putih
Menandai hayat tak pernah letih
Sepanjang jalan dari hulu kehilir
Semerbak mawar melati
Harumnya yang mereka hirup
Membuat jiwa beku menjadi cair
Memaknai hidup yang belum berakhir
Jumat, 11 Oktober 2013
Runtuhnya Gerbong Keadilan
Oleh : W. Suratman *)
IBARAT - Sebuah panggung yang
menyajikan pertunjukan, para penonton tentu akan semakin nyaman dan berselera
ketika di-suguhkan sebuah pertunjukan yang baik. Lantas batasan pertunjukan
yang baik itu sendiri tentu sangat tergantung pada pribadi masing-masing. Namun
kita semua tentu akan sepakat, bila pertunjukan itu menyejukan, dan paling
tidak ada unsur mendidik, dan memiliki pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan,
termasuk moral, etika dan estetika juga ada didalamnya, tidak semata-mata
menghibur begitu saja. Tentu kita tidak keberatan untuk mengacungkan jempol,
pertanda menaruh tanda suka pada pertunjukan tersebut.
Begitu juga
dengan Republik yang kita cintai ini, negeri bernama Indonesia, seharusnya Sang
Raja dibalik istana dan para punggawa yang bertahtah di kursi kekuasaan mampu
menyajikan sebuah melodrama pertunjukan yang sejuk, dan memberikan semangat
kepada rakyatnya, sehingga rakyat merasa terhibur, termotivasi yang pada
giliranya menjadikan pemicu semangat dalam berkarya.
Namun sayang,
sampai detik-detik akhir kekuasaanya, rezim yang bertengger di kursi kekuasaan
yang tinggal sejengkal, belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan bagi
semua pihak, terutama bagi rakyat kecil, kalangan bawah, utamanya para petani,
buruh, nelayan dan lain-lainya.
Apalagi dalam
hari-hari terakhir rakyat disuguhkan sebuah drama pertunjukan yang cukup
memuakan, andai saja ini benar, maka kita sebagai rakyat tidak cukup hanya
mengelus dada, sembari geleng-geleng kepala. Tentu yang kita akan lakukan
adalah, mengepalkan tangan, sembari bersumpah serapah. Hari ini kita
menyaksikan runtuhnya kepercayaan rakyat kepada para punggawa keadilan.
Betapa tidak
seorang yang memimpin lembaga hukum, yang tentu saja sangat paham akan hal
ihwal tentang aturan mana yang salah dan mana yang benar, justru tertangkap
basah di-duga terlibat dalam kasus suap, sampai-sampai ruang kantornya disegel,
berarti ruang kantor itu kotor secara hukum. Sungguh sebuah pertunjukan yang
memuakan, dan sangat menyesakan dada bagi kita semua.
Kita muak,
dengan petingkah para punggawa yang berlindung dibalik baju kebesaranya, tetapi
sejatinya justru mengkorup uang rakyat. Betapa pedih dan sesaknya dada kita,
ketika menyaksikan realita bahwa hukum yang selama ini diagung-agungkan sebagai
panglima, ternyata tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat kecil.
Runtuhnya
gerbong keadilan ini, tentu bukan sebuah
kebetulan, sebagai seorang yang beragama tentu kita sangat percaya akan campur
tangan Sang Pengatur Alam Semesta.
"Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema'lumkan, "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.Ibrahim :
7). Begitulah dengan sangat gamblang tertulis dalam Kitab Suci Al Qur'an,yang
harus kita yakini.
Ketika rakyat
kecil seolah sedang sekarat, akibat didera oleh berbagai persoalan, terutama
untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya yang begitu berat. Namun seorang
punggawa institusi hukum yang begitu terhormat, dengan gajinya ratusan juta,
andaikan semua ini benar, masih terlarut dalam permainan upeti dan sogok, maka
ini semua tentu bukan sebuah kebetulan, Sang Pemilik Alam Semesta murka,
melalui Keperkasaanya, dengan mudahnya mencabut nikmat dan menghinakanya,
dari yang semula di-panggil 'Yang Mulia menjadi Yang Tersangka.'
Sampai-sampai
Sang Raja tergopoh-gopoh, dipanggilnya para punggawa kerajaan, dikumpulkan
untuk mendengarkan wejangan Sang Raja di istana. Entah apa yang diwejangkan
Sang Raja, hanya terdengar sayup-sayup.
Para abdi dan
pelayan istanapun dibuat sibuk, tidak sepatah katapun yang terucap dari para abdi
dan pelayan itu, mereka sibuk menyiapkan keperluan untuk tuanya dan para
punggawa yang sedang bersidang di istana malam itu.
Dari sorot
matanya yang menampakan kecemasan, para abdi dan pelayan istana tidak terucap
sepatah katapun, mereka hanya mampu membatin, ‘Jangan-janga para punggawa ini
pada sekongkol dan terlibat, sehingga Sang Raja cepat-cepat memanggilnya, takut Sang
Pemilik Alam Semesta, murka,’demikian batin dalam hati masing-masing para abdi
dan pelayan.
Sementara,
diluar istana, mulai dari kedai kopi pinggir jalan, restoran mewah, di pojok
gang sempit, sampai gedung pencakar langit, rakyat riuh memperbincangkan
tertangkap basahnya punggawa institusi hukum, yang disiarkan televisi,secara
berulang-ulang, bak sinetron picisan.
Dan
bersyukurlah, rakyat dinegeri ini terlanjur
dikenal sebagai rakyat yang ramah-tamah, memilki rasa tepo seliro, ewuh pakewuh,
sehingga seburuk dan sebobrok apapun yang terjadi pada para punggawa kerajaan,
hanya sebatas riuh menjadi bahan
perbincangan, di warung dan kedai kopi, lantas menguap, hilang, seolah tak
pernah terjadi apa-apa.
Rakyat dibuat
semakin bingung, apa sebenarnya yang sedang dimainkan oleh para elit politik,
dengan scenario canggih nan rapih, mengalir
deras memenuhi ruang-ruang tamu rakyat seantero negeri melalui layar
kaca media elektronik yang sangat sadis mencekoki, dan mencuci otak anak-anak
negeri untuk mengikuti apa yang mereka inginkan.
Entahlan, rakyat
hanya diam, membisu, apatis pada semua ini…....
Namun jangan
salah, rakyat adalah pemegang kedaulatan di republik ini, ketika melihat mereka
yang bertahtah di kursi kekuasaan, sebagai pemegang amanah kedualatan rakyat,
terus berfoya-foya dengan kerakusannya, bukan tidak mungkin diam dan membisunya
rakyat akan menjadi energi besar yang
mampu menggerakan kekuatan baru untuk merontokan dan menarik kembali amanat
yang dititipkannya.(*)
*)
Penulis adalah, Anggota Persaudaraan Jurnalist Muslim Indonesia (PJMI)
Jumat, 13 September 2013
Semangat Warga Jadi Pewarta

Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan
Pemeriksa Keuangan mengecek langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus.
Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat provinsi. "Orang pemerintah
daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.
Kejadian itu bukan satu-satunya.
Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah yang siswanya belajar secara
lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah," kata
Akhmad. Ada
juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa
Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs
media komunitas.
Pengaruh media warga atau kadang
disebut media komunitas, yang dikelola dengan prinsip jurnalisme publik
(citizen journalism)-dari, oleh, dan untuk warga-memang terasa menguat. Tidak
sedikit "teriakan" media-media komunitas yang bercokolan di berbagai
penjuru negeri ini terdengar sampai ke Ibu Kota Jakarta.
Kementerian Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan pun sampai menggelar rapat khusus tentang media komunitas pada
Rabu dua pekan lalu. Pejabat bidang komunikasi kementerian tersebut membahas
cara mengoptimalkan manfaat media komunitas untuk sosialisasi program
pemerintah. Harapan pemerintah, sosialisasi lebih efektif dan tepat sasaran
dengan menggunakan media warga ketimbang melalui media arus utama (mainstream).
Media warga memang berkembang
pesat dalam beberapa tahun terakhir. Suara Komunitas, misalnya, dalam kurun
tiga tahun, kontributornya mencapai 350 orang, yang tersebar di 17 wilayah
se-Indonesia. Akhir Maret lalu para editor dari berbagai wilayah berkumpul di Cirebon untuk membahas
pengembangan Suara Komunitas. Sejauh ini, tercatat peningkatan konten dari 673
tulisan pada 2008 menjadi 2.023 tulisan sepanjang 2010. "Bukan hanya
kuantitas, kami juga mulai konsentrasi menguatkan dampak ke khalayak,"
kata Nasir, salah satu pengurus.
Dari Bandung, muncul Citizen
Journal akhir bulan lalu, yang dimotori oleh Urbane Community, gerakan peduli kota berbasis komunitas.
Buahnya, warga pun mendadak jadi pewarta.
M. Achsan, siswa Sekolah
Menengah Kejuruan Pekerjaan Umum Kota Bandung, contohnya. Selain kegiatan
sekolah, kini dia rajin mengamati peristiwa di lingkungannya. Begitu ada yang
menarik, kameranya pun langsung beraksi: jepret! "Saya ingin menyampaikan
informasi sekitar," kata dia bersemangat.
Wartawan komunitas lainnya
melakukan peliputan sesuai dengan lokasi tinggal atau kegiatan. Hingga kini
sudah 20 komunitas rukun warga sukarelawan Citizen Journal. Para
pewarta itu merekam fakta yang diunggah ke Facebook, lalu semua informasi itu
digabung tayang di situs www.citizenjournal-bdg.org. "Mereka cinta Bandung, ingin
berpartisipasi dengan berbagi informasi," kata arsitek Ridwan Kamil,
pendiri Urbane Community.
Tiap-tiap komunitas dibekali
kamera dari dana sosial perusahaan Ridwan. "Tahap awal dengan kamera,
lebih fun dan relatif ringan," kata Reggy Kayong Munggaran, salah satu
penggiatnya. Berita foto atau tulisan itu tayang sesuai dengan kategori yang
ditetapkan.
Situs itu memang Sunda pisan.
Nama kanalnya antara lain Sindang Heula, berisi berita tentang lokasi menarik.
Jawara Kampung bercerita tentang sosok-sosok lokal inspiratif. Jika ingin
mengetahui keluhan warga, bisa baca di Kukulutus atau Seratan Hate. Tentu tidak
semua harus serius. Ingin bergosip? Mari baca-baca Harewos Bojong.
Semua dipersiapkan untuk
menampung partisipasi lebih luas. Targetnya, total 3.000 komunitas RW di
Bandung bergabung. "Nantinya tak ada lagi alasan pemerintah tidak tahu
persoalan di bawah," kata Ridwan.
Di Bali, ada Balebengong. Warga
bebas mengirim tulisan opini atau reportase ke situs berita
www.balebengong.net, yang berslogan "Berbagi Kabar dari Bali". Di
sini pembaca dapat menikmati beragam tulisan. Dari kuliner di Bali, obyek
wisata, hingga masalah sosial.
Balebengong ada sejak
pertengahan 2007, ketika blog pribadi marak. Anton Muhajir, wartawan lepas
penggagas Balebengong, memodifikasi blog pribadi menjadi publik, seperti
Panyingkul.com di Makassar dan Wikimo.com di Jakarta. "Namanya menunjukkan
tempat orang bisa mengobrol sesuka hati," katanya. Awalnya hanya mencakup
wilayah Denpasar, selanjutnya meluas ke seluruh Bali. Situs ini juga
menyediakan link blog para kontributor, yang kemudian bergabung dalam komunitas
Bali Blogger.
Selain memiliki domain sendiri,
kontributor Balebengong kini mencapai 160 orang. Sebagai penjaga, Anton dibantu
enam orang. Jumlah pengakses rata-rata seribu orang per hari, pernah tembus
hingga 6.000 ketika ada tulisan tentang Superman is Dead, nama band berpengaruh
di Bali.
Melihat potensi kunjungan itu,
sejumlah pemilik produk pun berminat memasang iklan di Balebengong. Tapi sejauh
ini pengelola sepakat menolak. Ada kekhawatiran para penulis berorientasi
komersial. "Sejak awal maunya gotong-royong saja," kata Anton.
Para kontributor memposisikan
Balebengong sebagai media alternatif. Salah satunya Gayatri, aktivis gerakan
perempuan di Bali, yang kecewa terhadap media arus utama karena tidak menerima
tulisan-tulisan kritisnya, terutama soal adat setempat. Di Balebengong
tulisannya mengalir tanpa sensor, dan makin meluas setelah diunggah ulang ke
Facebook.
Reaksi pembaca bukannya tak ada.
Pande Nyoman Artawibawa, pegawai pemerintah daerah Badung, yang rajin
mengunggah tulisan kritis, misalnya tentang kegagalan wilayah Dalung menjadi
kota satelit Denpasar, sering diprotes teman-temannya dan dianggap kurang
kerjaan.
Jumlah penulis pun bertambah.
Pengelola juga rutin menyelenggarakan pelatihan jurnalisme warga. Saat ini
sudah mencapai tujuh angkatan, masing-masing 15-20 orang. Langkah ini sekaligus
mengatasi kendala soal kemampuan menulis dan menjaga konsistensi media warga.
"Kami optimistis bertahan melihat semakin banyak orang melek
Internet," kata Anton.
Teknologi Internet memacu
jurnalisme warga berkembang pesat. Ini fenomena global. Salah satu tonggak penting
jurnalisme warga adalah kejadian bom yang mengguncang London, 7 Juli 2005. Saat
itu Tim Porter yang istrinya berada di lokasi menyiarkan tragedi itu dengan
cepat melalui situs pribadinya, First Draft. Sebelumnya, dia mengumpulkan
informasi dari video yang diunggah warga di lokasi kejadian.
Wujud jurnalisme warga lain yang
fenomenal adalah situs OhmyNews, yang diluncurkan pada awal 2000 di Seoul,
Korea Selatan. Dari sekitar 60 ribu reporternya yang tersebar di berbagai
negara, 80 persen di antaranya warga biasa yang aktif berbagi informasi. Tak
mengherankan, slogannya pun mengundang: "Every Citizen is a
Reporter".
Berbekal semangat melihat gelora
jurnalisme warga, baik di dalam maupun di luar negeri itu, Gunanto, pengusaha
peternakan di Purbalingga, Jawa Tengah, pun merintis hal serupa setelah mundur
dari profesi wartawan di Jakarta. Dia mengumpulkan anak muda setempat untuk
menjadi jurnalis warga. "Banyak yang bersemangat, mungkin dorongan
mendasar orang ingin bercerita," katanya.
Buahnya, sejak Januari lalu
meluncurlah media Kabare Bralink-sebutan lain kawasan Purbalingga. Semua
kontributor bebas menuliskan berita apa saja. Muatan lokal disematkan dengan
cara menggunakan parikan atau pantun berbahasa setempat. Satu berita yang
berisi kritik keras ditutup dengan parikan yang bermakna permintaan maaf: lawuh
welut segane pera, salah luput njaluk ngapura.
Sumber : Tempo
Langganan:
Postingan (Atom)