Sabtu, 12 Oktober 2013

Kumpulan Catatan Mbah Ddidek

DUKA PANJANG KAUM PINGGIRAN

Lapar dirangkulnya erat-erat sepanjang perjalanan.
Dahaga menjadi kerabat setianya.
Dalam sepi belum juga ditemukan orang-orang yang peduli.
Mereka berjalan terus mengejar mimpi yang tak kunjung berhasil disalami.

Sahur dan bukapun tak hapal diotaknya yang beku oleh penderitaan.
Si buta yang mengemis di jalan-jalan,
Kaum papa yang berteduh di kolong-kolong jembatan
Dan kambing-kambing yang melacur di rel-rel kereta,

Merekalah yang sudi menyatukan diri,
Rame-rame,
Meneriakan pekik kemanusiaan
"Merdeka, atau Kami harus mati".

Kata-Kata Hikmah

17 Juli 2013 pukul 4:57
Kata-kata yang terlanjur terucap dan terasa menyakitkan,
Kesalahpahaman yang terumbar bagaikan fitnah,
Ucapan lancang yang membuahkan kepedihan,
Nasehat-nasehat yang lahir seperti menggurui,
Kegembiraan berlebihan yang melahirkan kegaduhan,
Prasangka-prasangka yang mengalir tanpa aturan,
Berbagai petingkah yang menyebalkan,
Kekhilafan-kekhilafan yang membuat suatu janji dan harapan menjadi terhalang untuk diwujudkan,
Ketidakselarasan yang tertafsir sebagai pengkhianat,
Gurauan yang terterima sebagai keglauan,
Langkah-langkah brutal yang membuat orang lain menjadi tidak nyaman,
Sikap egoisme yang belum sepenuhnya berhasil kami padamkan.
Mohon diamaafkan lahir batin pada suasana yang penuh rahmat dan ampunan ini.
Kedepan semoga tak terulang lagi.
Semua diharapkan akan menjadi lebih jernih dan kian indah.
Selamat menjalankan Ibadah Puasa.....

HIDUP BELUM BERAKHIR

17 Juli 2013 pukul 5:12
Sia-siakah sisa hidup mereka
Dengan sepenggal nafas
Dan darah yang masih mengalir
Darah merah darah putih
Menandai hayat tak pernah letih

Sepanjang jalan dari hulu kehilir
Semerbak mawar melati
Harumnya yang mereka hirup
Membuat jiwa beku menjadi cair
Memaknai hidup yang belum berakhir








Jumat, 11 Oktober 2013

Runtuhnya Gerbong Keadilan


  



 Oleh : W. Suratman *)

IBARAT - Sebuah panggung yang menyajikan pertunjukan, para penonton tentu akan semakin nyaman dan berselera ketika di-suguhkan sebuah pertunjukan yang baik. Lantas batasan pertunjukan yang baik itu sendiri tentu  sangat  tergantung pada pribadi masing-masing. Namun kita semua tentu akan sepakat, bila pertunjukan itu menyejukan, dan paling tidak ada unsur mendidik, dan memiliki pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan, termasuk moral, etika dan estetika juga ada didalamnya, tidak semata-mata menghibur begitu saja. Tentu kita tidak keberatan untuk mengacungkan jempol, pertanda menaruh tanda suka pada pertunjukan tersebut.

Begitu juga dengan Republik yang kita cintai ini, negeri bernama Indonesia, seharusnya Sang Raja dibalik istana dan para punggawa yang bertahtah di kursi kekuasaan mampu menyajikan sebuah melodrama pertunjukan yang sejuk, dan memberikan semangat kepada rakyatnya, sehingga rakyat merasa terhibur, termotivasi yang pada giliranya menjadikan pemicu semangat dalam berkarya.

Namun sayang, sampai detik-detik akhir kekuasaanya, rezim yang bertengger di kursi kekuasaan yang tinggal sejengkal, belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan bagi semua pihak, terutama bagi rakyat kecil, kalangan bawah, utamanya para petani, buruh, nelayan dan lain-lainya.

Apalagi dalam hari-hari terakhir rakyat disuguhkan sebuah drama pertunjukan yang cukup memuakan, andai saja ini benar, maka kita sebagai rakyat tidak cukup hanya mengelus dada, sembari geleng-geleng kepala. Tentu yang kita akan lakukan adalah, mengepalkan tangan, sembari bersumpah serapah. Hari ini kita menyaksikan runtuhnya kepercayaan rakyat kepada para punggawa keadilan.

Betapa tidak seorang yang memimpin lembaga hukum, yang tentu saja sangat paham akan hal ihwal tentang aturan mana yang salah dan mana yang benar, justru tertangkap basah di-duga terlibat dalam kasus suap, sampai-sampai ruang kantornya disegel, berarti ruang kantor itu kotor secara hukum. Sungguh sebuah pertunjukan yang memuakan, dan sangat menyesakan dada bagi kita semua.

Kita muak, dengan petingkah para punggawa yang berlindung dibalik baju kebesaranya, tetapi sejatinya justru mengkorup uang rakyat. Betapa pedih dan sesaknya dada kita, ketika menyaksikan realita bahwa hukum yang selama ini diagung-agungkan sebagai panglima, ternyata tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat kecil.

Runtuhnya gerbong keadilan ini, tentu  bukan sebuah kebetulan, sebagai seorang yang beragama tentu kita sangat percaya akan campur tangan Sang Pengatur Alam Semesta.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema'lumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.Ibrahim : 7). Begitulah dengan sangat gamblang tertulis dalam Kitab Suci Al Qur'an,yang harus kita yakini.

Ketika rakyat kecil seolah sedang sekarat, akibat didera oleh berbagai persoalan, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya yang begitu berat. Namun seorang punggawa institusi hukum yang begitu terhormat, dengan gajinya ratusan juta, andaikan semua ini benar, masih terlarut dalam permainan upeti dan sogok, maka ini semua tentu bukan sebuah kebetulan, Sang Pemilik Alam Semesta murka, melalui Keperkasaanya, dengan mudahnya  mencabut nikmat dan menghinakanya, dari yang semula di-panggil 'Yang Mulia menjadi Yang Tersangka.'

Sampai-sampai Sang Raja tergopoh-gopoh, dipanggilnya para punggawa kerajaan, dikumpulkan untuk mendengarkan wejangan Sang Raja di istana. Entah apa yang diwejangkan Sang Raja, hanya terdengar sayup-sayup.

Para abdi dan pelayan istanapun dibuat sibuk, tidak sepatah katapun yang terucap dari para abdi dan pelayan itu, mereka sibuk menyiapkan keperluan untuk tuanya dan para punggawa yang sedang bersidang di istana malam itu.

Dari sorot matanya yang menampakan kecemasan, para abdi dan pelayan istana tidak terucap sepatah katapun, mereka hanya mampu membatin, ‘Jangan-janga para punggawa ini pada sekongkol dan terlibat, sehingga Sang  Raja cepat-cepat memanggilnya, takut Sang Pemilik Alam Semesta, murka,’demikian batin dalam hati masing-masing para abdi dan pelayan.

Sementara, diluar istana, mulai dari kedai kopi pinggir jalan, restoran mewah, di pojok gang sempit, sampai gedung pencakar langit, rakyat riuh memperbincangkan tertangkap basahnya punggawa institusi hukum, yang disiarkan televisi,secara berulang-ulang, bak sinetron picisan.

Dan bersyukurlah, rakyat dinegeri  ini terlanjur dikenal sebagai rakyat yang ramah-tamah, memilki rasa tepo seliro, ewuh pakewuh, sehingga seburuk dan sebobrok apapun yang terjadi pada para punggawa kerajaan, hanya sebatas  riuh menjadi bahan perbincangan, di warung dan kedai kopi, lantas menguap, hilang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.  

Rakyat dibuat semakin bingung, apa sebenarnya yang sedang dimainkan oleh para elit politik, dengan scenario canggih nan rapih, mengalir  deras memenuhi ruang-ruang tamu rakyat seantero negeri melalui layar kaca media elektronik yang sangat sadis mencekoki, dan mencuci otak anak-anak negeri untuk mengikuti apa yang mereka inginkan.

Entahlan, rakyat hanya diam, membisu, apatis pada semua ini….... 

Namun jangan salah, rakyat adalah pemegang kedaulatan di republik ini, ketika melihat mereka yang bertahtah di kursi kekuasaan, sebagai pemegang amanah kedualatan rakyat, terus berfoya-foya dengan kerakusannya, bukan tidak mungkin diam dan membisunya rakyat akan menjadi energi  besar yang mampu menggerakan kekuatan baru untuk merontokan dan menarik kembali amanat yang dititipkannya.(*)

*) Penulis adalah, Anggota Persaudaraan Jurnalist Muslim Indonesia (PJMI)